Jumat, 08 November 2013

Panggilan Dakwah dari Timor Leste

‘’Jangan tinggalkan kami Muslim Timor Leste yang tinggal tiga persen di sana,’’  tagih Ustad Mohammad Anwar Da Costa kepada Dewan Dakwah.
Pada Senin (28/10), Direktur Masjid An Nur Kampung Alor, Dili, Timor Leste, itu mendatangi Gedung Menara Dakwah Jakarta Pusat. Kehadirannya disambut Direktur Eksekutif LAZIS Dewan Dakwah H Ade Salamun, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah M Natsir (STID) DR  Mohammad Noer, dan Ketua Bidang Pendidikan Dewan Dakwah DR Imam Zamroji.
Dalam kunjungan balasan itu, Ustad Anwar mengutarakan tantangan dan peluang dakwah di negara yang dulu pernah menjadi provinsi ke-27 NKRI (Timor Timur).
Sebagaimana ditulis Ambarak A Bazher  dalam bukunya Islam di Timor Timur (GIP, 1995), dakwah Islam sudah masuk ke Timor Timur sebelum kedatangan imperialis Portugis pada 1512 M. Ketika pasukan Portugis yang terusir dari Gowa, Sulawesi Selatan, tiba di Dili, mereka disambut pemimpin masyarakat setempat bernama Abdullah Afif.
Di bawah NKRI, Islam di Timor Timur mengalami perkembangan signifikan. Sampai tahun 1990-an, jumlah penduduk muslim di sana mencapai lebih 31 ribu jiwa. Di provinsi itu juga terdapat 13 Masjid, 30 Mushalla, 21 Madrasah, 20 Lembaga Islam, dan 116 Da’i (Ustad).
Masjid An Nur yang berdiri pada 1976 merupakan ikon keislaman di Timtim. Di komplek Masjid ini terdapat Madrasah Diniyah sebagai satu-satunya sekolah dasar anak Islam.
Untuk  membina umat, Yayasan An Nur mendapat kiriman da’i dari Yayasan Al Falah Surabaya dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Jakarta. Ketua Dewan Dakwah Allahyarham M Natsir waktu itu mengirimkan da’i dalam tiga tahap yaitu tahun 1981, 1983, dan 1985. Salah satu da’i tersebut tak lain adalah Ustad Syuhada Bahri yang kini Ketua Umum Dewan Dakwah.
Sejak referendum Timtim pada 1999 yang menghasilkan Timor Leste pada 2002, Islam di negeri itu menurun drastis. Baik dari segi jumlah umatnya, gerakan dakwahnya, maupun fasilitas ibadah dan pendidikan Islam.
Saat ini, Muslim Timor Leste tinggal sekitar 5000 jiwa atau atau 3% dari jumlah seluruh penduduk Timor Leste. Lembaga Islam hanya tersisa 7, dengan jumlah ustad 21 orang saja.
Namun di balik keprihatinan itu, ada hikmahnya. ‘’Di bawah sistem Negara Timor Leste yang sekuler, dakwah Islam mendapat kebebasan kembali,’’ ungkap Ustad Anwar. Seperti termaktub dalam Konstitusi Republik Demokrasi Timor Leste, Pasal 12 dan 45, Negara menjamin kebebasan beragama. ‘’Bahkan orang tak beragama pun boleh di sana,’’ imbuhnya.
Menurut Ustad Anwar, dakwah di masa sekarang malah lebih mudah ketimbang jaman dulu. Hasilnya, pada tahun 2011 misalnya, jumlah mualaf baru di Timor Leste mencapai 500 orang.
Sebagaimana presiden terdahulu Xanana Gusmao, Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak juga sangat memperhitungkan warga Muslim. Idul Fitri Agustus lalu, ia turut merayakan lebaran bersama warga Muslim Kampung Alor yang berasal dari Makassar, Jawa, dan Alor (NTT).
Setelah mendapat pemaparan dari Ustad Imam Zamroji tentang Progam ADI (Akademi Dakwah Indonesia), duta Muslim Timor Leste semakin bersemangat mengembangkan dakwah di negerinya. ‘’Kalau begitu, kami tidak hanya memerlukan kiriman da’i alumnus STID dan ADI. Sekalian saja kami mau membangun ADI Timor Leste,’’ katanya. Dengan demikian, ia melanjutkan, Timor Leste bisa mencetak juru dakwah dari kader-kader muda mereka sendiri.
Ustad Ade Salamun menyambut baik aspirasi Muslim Timor Leste yang disuarakan Ustad Anwar. Menurutnya, pengiriman da’i dan pendirian Akademi Dakwah di Timor Leste merupakan panggilan dakwah yang urgen dan mulia.
‘’Insya Allah, kami akan mengadukan panggilan dakwah ini kepada kaum muslimin Indonesia agar dapat dipenuhi segera,’’ kata Direktur Eksekutif LAZIS Dewan Dakwah.

Sumber : http://www.voa-islam.com/news/silaturahim/2013/10/29/27355/panggilan-dakwah-dari-timor-leste/

Sabtu, 12 Oktober 2013

Keluhan Ibu Hamil dan Solusinya

Keluhan Ibu Hamil dan Solusinya
Ilustrasi
Muslimahzone.com - Selama kurang lebih 9 bulan, seorang wanita yang sedang hamil akan mengalami berbagai macam keluhan khas ibu hamil. Keluhan yang muncul berbeda-beda antara wanita yang satu dengan lainnya. Ada yang merasakan begitu banyak keluhan, tapi ada yang hanya mengalami satu atau dua keluhan. Ada ibu hamil yang kepayahan selama 9 bulan, ada yang hanya beberapa bulan pertama (biasanya pada trimester/3 bulan pertama), dan ada pula yang menjalani kehamilan tanpa keluhan yang berarti. Berikut ini akan disampaikan beberapa keluhan khas ibu hamil sekaligus solusi untuk mengatasinya.
Keletihan yang terus menerus
Keletihan yang dialami ibu hamil merupakan sesuatu hal yang wajar. Tubuh ibu hamil bekerja lebih keras dibanding tubuh yang tidak sedang hamil, bahkan dalam kondisi sedang beristirahat sekalipun. Hanya saja ibu hamil tidak menyadari bahwa tubuhnya sedang bekerja keras dan menyesuaikan diri dengan banyaknya tuntutan fisik dan emosional dari kehamilan.
Solusi :
  • Pastikan bahwa Anda cukup tidur, terutama di malam hari.
  • Kerjakan pekerjaan yang harus Anda selesaikan semampunya saja (jangan memaksakan diri).
  • Mintalah bantuan pada suami atau orang-orang terdekat jika Anda merasa tidak mampu melakukan suatu pekerjaan.
  • Usahakan melakukan olahraga ringan, karena terlalu banyak istirahat dan kurangnya aktivitas justru akan meningkatkan keletihan.
  • Jika keletihannya sangat parah, terutama jika disertai dengan pingsan, pucat, sesak nafas, denyut jantung sangat cepat, maka segera periksakan diri Anda ke dokter.
Mual dan muntah.
Keluhan ini bisaanya terjadi pada awal kehamilan. Karena sering terjadi pada pagi hari, kondisi ini disebut juga “morning sickness”. Muntah yang berlebihan dapat menyebabkan kekurangan gizi maupun dehidrasi (kekurangan cairan).
Solusi :
  • Makan sedikit-sedikit, tetapi sering. Sebaiknya makanan dimakan dalam kondisi hangat.
  • Makanlah makanan selingan seperti biskuit atau roti kering dengan minuman hangat saat bangun pagi dan sebelum tidur.
  • Hindari mengkonsumsi tembakau (merokok), alkohol, kafein, minuman berkarbonasi (soda), makanan berminyak, berlemak dan berbau menyengat.
  • Hindari pemandangan, bau, dan rasa makanan yang membuat Anda mual.
  • Perbanyak minum air putih diantara waktu makan.
  • Konsumsi suplemen/vitamin tambahan khusus untuk ibu hamil. Kandungan vitamin B6 dapat membantu meredakan mual pada beberapa ibu hamil.
  • Istirahat yang cukup dan berkualitas.
  • Bangun pagi secara perlahan-lahan. Jangan langsung turun dari tempat tidur dengan tergesa-gesa, karena hal tersebut dapat memperparah mual.
  • Sikatlah gigi dengan pasta gigi yang rasa dan aromanya tidak menambah mual atau berkumur setiap selesai makan dan muntah. Selain menyegarkan mulut dan mengurangi mual, kebisaaan ini juga dapat menjaga kesehatan gigi dan gusi.
Mengidam (sangat menginginkan) atau justru membenci makanan tertentu
Mengidam atau justru membenci suatu makanan merupakan hal yang wajar dan terkait dengan perubahan hormonal terutama pada awal-awal kehamilan. Terkadang hal ini juga dipengaruhi oleh kebutuhan emosional dari ibu hamil.
Solusi :
  • Selama makanan yang diinginkan tidak berbahaya bagi ibu hamil beserta janinnya dan bisa dipenuhi (permintaan yang wajar), maka sah-sah saja mengonsumsi makanan tersebut.
  • Sebaliknya, jika Anda sangat membenci makanan tertentu, maka Anda tidak perlu memaksakan diri untuk memakannya, hanya saja Anda tetap perlu mencari penggantinya yang memiliki kandungan gizi yang setara.
  • Mintalah pengertian dari suami atau orang terdekat dan ungkapkan perasaan Anda sehingga kebutuhan emosional Anda terpenuhi.
Banyaknya produksi ludah
Produksi ludah yang berlebihan merupakan gejala umum dari kehamilan yang tidak menyenangkan tapi tidak berbahaya, biasanya tidak berlangsung lama dan akan menghilang setelah beberapa bulan pertama.
Solusi :
  • Sering bersiwak atau sikat gigi menggunakan pasta gigi yang mengandung mentol atau mint.
  • Berkumur dengan cairan atau obat kumur yang mengandung mentol/mint.
Merasakan tekanan di perut bagian bawah
Anda tidak perlu terlalu khawatir ketika merasakan adanya tekanan di perut bagian bawah selama tidak ada nyeri, perdarahan, dan gejala lain terkait dengan keguguran atau kehamilan ektopik (hamil di luar kandungan). Tekanan yang Anda rasakan di perut bagian bawah ini kemungkinan besar karena tubuh menangkap sinyal perubahan di perut bagian bawah yang merupakan lokasi rahim saat ini. Apa yang Anda rasakan merupakan sensasi penanaman embrio (bakal janin) di dinding rahim, bertambahnya aliran darah, menebalnya lapisan dinding rahim, dan bertambah besarnya ukuran rahim.
Solusi :
  • Gunakan pakaian yang nyaman (tidak ketat)
  • Ganti celana dalam Anda dengan ukuran yang lebih sesuai supaya tidak menambah tekanan pada perut.
  • Konsultasikan dengan dokter Anda jika keluhan ini bertambah parah atau disertai gejala lain seperti nyeri, perdarahan, dan lain-lain.
Sering buang air kecil
Wanita hamil biasanya akan mengalami sering buang air kecil pada trimester (tiga bulan) pertama dan ketiga. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya volume cairan tubuh dan meningkatnya kerja ginjal, sehingga mempercepat pembuangan produk sisa. Selain itu, makin diperparah dengan adanya tekanan dari rahim yang membesar pada kandung kemih.
Solusi :
  • Jangan khawatir dan jangan mengurangi jumlah cairan yang masuk ke tubuh Anda karena tubuh Anda membutuhkan cairan yang cukup selama hamil.
  • Anda hanya boleh membatasi minum ketika menjelang tidur malam untuk  menghindari sering terbangun pada malam hari.
Nyeri ulu hati dan gangguan pencernaan
Di awal kehamilan, tubuh memproduksi sejumlah besar hormon progesteron dan relaksin yang cenderung melemaskan jaringan otot polos di semua bagian tubuh, termasuk di saluran pencernaan. Akibatnya, kadang-kadang makanan bergerak lebih lambat melalui sistem pencernaan, sehingga memunculkan perasaan kembung dan penuh. Mungkin hal ini terasa tidak nyaman bagi Anda, tapi pelambatan ini menguntungkan bagi janin karena memungkinkan penyerapan zat gizi ke dalam aliran darah dan pada gilirannya ke plasenta (ari-ari) dan janin.
Nyeri ulu hati terjadi bila cincin otot yang memisahkan esofagus (kerongkongan) dengan lambung melemas sehingga makanan dan asam lambung mengalir kembali dari lambung ke esofagus. Asam lambung ini mengiritasi dinding esofagus yang peka sehingga menyebabkan sensasi panas atau perih di area dekat jantung. Selama bulan-bulan terakhir dari kehamilan, masalah ini makin diperparah dengan pembesaran rahim sehingga menekan lambung.
Solusi :
  • Hindari kenaikan berat badan yang berlebihan supaya tidak terjadi penekanan berlebihan pada lambung.
  • Jangan mengenakan pakaian yang ketat di sekitar perut atau pinggang.
  • Hindari makan terlalu banyak dalam sekali waktu, akan lebih baik jika Anda makan dengan porsi kecil tapi lebih sering.
  • Makan dengan perlahan dan kunyahlah dengan sempurna.
  • Hindari makanan yang menimbulkan rasa tidak nyaman pada lambung, seperti makanan pedas, berbumbu kuat, gorengan, makanan berlemak, coklat, kopi, minuman bersoda, dan lain-lain.
Pusing
Pada trimester pertama kehamilan, pusing bisa terjadi karena tidak cukupnya pasokan darah untuk memenuhi sistem peredaran darah yang sedang mengembang dengan cepat. Pada trimester kedua, pusing bisa disebabkan oleh tekanan rahim yang membesar pada pembuluh darah ibu. Pusing juga bisa menyerang setiap kali Anda bangun terlalu cepat dari posisi duduk atau berdiri. Ini disebabkan oleh peralihan darah yang tiba-tiba dari otak ketika Anda mengganti posisi. Anda juga bisa merasakan pusing ketika kadar gula rendah, dehidrasi (kekurangan cairan), dan ketika sedang berada dalam ruangan yang pengap.
Solusi :
  • Selalu bangun dengan bertahap (tidak tiba-tiba)
  • Makan dalam porsi kecil dan lebih sering, serta mengonsumsi camilan sehat.
  • Minum dalam jumlah yang cukup (8 gelas sehari), dan lebih banyak lagi ketika cuaca panas atau Anda sedang berolahraga.
  • Hindari berada dalam ruangan yang pengap, cari udara segar, dan selalu buka lebar jendela ruangan Anda.
  • Jika kepala terasa pusing dan hampir pingsan, cobalah untuk meningkatkan aliran darah ke otak dengan berbaring, jika mungkin dengan kaki ditinggikan, atau duduk dengan kepala diletakkan di antara lutut, sampai pusing berangsur hilang. Jika tidak ada tempat untuk berbaring atau duduk, berlututlah dengan satu lutut dan bungkukkan tubuh ke depan seperti ketika Anda mengikat tali sepatu.
  • Konsultasikan pada dokter Anda jika pusing dan hamper pingsan ini sering terjadi, karena bisa jadi merupakan pertanda anemia sehingga perlu dipantau lebih lanjut
Baal dan kesemutan di tangan
Baal (mati rasa) dan kesemutan pada tangan dan kaki ketika hamil merupakan gejala yang normal selama hamil dan disebabkan oleh tekanan pada saraf oleh jaringan yang membengkak. Jika baal dan nyeri hanya terjadi pada ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan sebagian dari jari manis, kemungkinan Anda mengalami carpal tunnel syndrome (sindrom saluran karpal). Ini disebabkan oleh membengkaknya saluran karpal yang berada di pergelangan tangan dan tempat berjalannya saraf menuju jari-jari, sehingga menimbulkan baal, kesemutan, rasa panas, dan nyeri, yang bisaanya memburuk pada malam hari. Nyeri dari sindrom saluran karpal yang terjadi karena kehamilan, biasanya akan membaik 2 atau 3 pekan pasca persalinan.
Solusi :
  • Usahakan tangan tidak tertindih selama tidur.
  • Jika terjadi baal dan kesemutan, gantungkan tangan yang baal di sisi tempat tidur dan guncangkan dengan keras, tindakan ini akan meredakan baal.
  • Istirahatkan tangan sesekali jika Anda sering menggunakan tangan dalam bekerja (misal mengetik).
Sesak nafas
Hormon kehamilan merangsang pusat pernafasan untuk meningkatkan frekuensi dan kedalaman nafas sehingga Anda merasa sulit bernafas. Selain itu, sesak nafas juga bisa disebabkan oleh adanya pembengkakan pembuluh darah kapiler dari saluran pernafasan dan bagian tubuh lainnya, mengendurnya otot-otot paru, saluran bronchus (cabang paru), dan otot-otot lain. Tekanan rahim yang membesar pada diafraghma dapat menyesakkan paru-paru sehingga paru-paru sulit mengembang dengan penuh.
Solusi :
  • Tetap tenang dan rileks akan sangat membantu untuk menghindari terjadinya sesak nafas.
  • Mungkin Anda akan lebih mudah bernafas jika posisi anda tegak dan tidak menyandar ke belakang.
  • Jika Anda sulit tidur dalam posisi berbaring, cobalah untuk tidur pada posisi setengah duduk (disangga dengan 2 atau 3 bantal).
  • Hindari kerja fisik yang keras.
  • Segera temui dokter Anda jika sesak nafas yang Anda alami sangat parah, disertai dengan pernafasan yang cepat, bibir dan ujung jari kebiruan, nyeri dada, dan atau denyut nadi yang cepat.
Sakit punggung
Selama hamil, sendi pinggul yang biasanya stabil akan melonggar untuk mempermudah keluarnya bayi pada saat lahir. Bersamaan dengan besarnya perut, kondisi ini membuat kondisi tubuh anda tidak seimbang. Untuk mengimbanginya Anda cenderung menarik pundak dan leher ke arah belakang sehingga punggung bawah akan melengkung, otot punggung terlalu tertarik, dan nyeri.
Solusi :
  • Menjaga pertambahan berat badan agar tidak terlalu berlebihan.
  • Jangan menggunakan sepatu tumit tinggi.
  • Jangan mengangkat benda dengan tiba-tiba. Stabilkan dulu posisi tubuh dengan mengambil posisi melebar (kaki terpisah selebar pundak) dan setengah berjongkok. Tekuklah lutut, dan bukan pinggang Anda.
  • Usahakan tidak berdiri atau duduk terlalu lama.
  • Ketika Anda berdiri di atas lantai yang keras (misalnya ketika memasak atau mencuci piring) letakkan keset di bawah kaki untuk mengurangi tekanan.
  • Pilihlah kursi atau tempat duduk dengan sandaran punggung yang lurus, berlengan, dan bantalan yang keras atau tidak terlalu empuk.
  • Gunakan kompres (dengan handuk atau lap) panas dan dingin secara bergantian untuk meredakan nyeri otot, masing-masing bergantian tiap 15 menit.
PENUTUP
Masih banyak keluhan yang mungkin akan muncul selama seorang wanita mengandung bayinya. Pada dasarnya, keluhan-keluhan khas ibu hamil biasanya akan membaik atau menghilang setelah bayi lahir. Untuk itu, hendaknya ibu hamil bersabar dalam menjalani kehamilannya dan senantiasa optimis akan bisa menjalaninya dengan baik. Sekian penjelasan tentang keluhan ibu hamil dan solusinya. Semoga bermanfaat.
Oleh : dr. Avie Andriyani

Tempe Goreng Bumbu Ketumbar Atasi Mual Ibu Hamil

Tempe Goreng Bumbu Ketumbar Atasi Mual Ibu Hamil
Ilustrasi
MuslimahZone.com – Mual dan muntah saat hamil tentu membuat ibu tidak nyaman saat makan. Tak perlu khawatir, sebuah resep dari pengarang buku Vaksinasi Dampak, Konspirasi dan Solusi Sehat ala Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasalam, Ummu Salamah Al- Hajjam insya Allah dapat menjadi solusi.
Caranya cukup mudah, buat goreng tempe dengan bumbu ketumbar, garam, dan bawang putih. Makan segera dengan nasi hangat. Hmm..yummy!
Selain memiliki khasiat anti-mual, ternyata bumbu dapur yang mungil ini juga  memiliki banyak manfaat lainnya, diantaranya memiliki sifat anti-bakteri dan dapat membantu menurunkan kadar gula darah.
(muslimahzone.com)

Keutamaan Amalan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijah



SAAT ini  kini berada dalam rangkaian sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijah.  Sepuluh hari yang agung. Allah Subhanahu wa ta’ala, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, dan seluruh kaum muslimin memuliakan dan mengagungkannya. Syariat memerintahkan umat Islam untuk menyemarakkannya dengan berbagai amal shalih yang istimewa.

 “Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan, memuliakan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul/lahir dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj [22] : 32).

Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.

Keutamaan 10 hari pertama bulan Dzulhijah
Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah memiliki keutamaan yang agung/mulia dalam syariat Islam. Di antaranya adalah:

1. Allah SWT bersumpah dengannya. Allah berfirman,
“Demi waktu fajar. Dan demi sepuluh malam.” (QS. Al-Fajr [89] : 1-2)
Makna sepuluh malam dalam ayat yang mulia ini adalah sepuluh malam yang pertama dalam bulan Dzulhijah, menurut mayoritas ulama tafsir, dan inilah pendapat yang benar menurut penelitian imam Ibnu Katsir ad-Dimasyqi.

2. Ia merupakan hari-hari yang disyariatkan secara khusus untuk memperbanyak dzikir. Allah berfirman (yang artinya).
 “Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj [22] : 28)
Menurut mayoritas ulama tafsir, termasuk di antaranya sahabat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas RA, maksud dari menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah.

3. Rasulullah  bersaksi bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hari-hari di dunia yang paling mulia.
Dari Jabir RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Hari-hari di dunia yang paling utama adalah sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijah)” Para sahabat bertanya, “Hari-hari yang dipergunakan (jihad) di jalan Allah juga tidak menandinginya?” Beliau menjawab, “Hari-hari yang dipergunakan di jalan Allah juga tidak mampu menandinginya, kecuali seseorang yang wajahnya terjerembab di dalam debu (gugur di medan jihad hingga wajahnya beralaskan tanah).” (HR. Al-Bazzar dan Ibnu Hibban)

4. Hari Arafah. Wuquf di Arafah jatuh pada tanggal 9 Dzulhijah setiap tahun. Hari wuquf di Arafah adalah hari yang sangat agung. Pada saat tersebut Allah mengabulkan doa, mengampuni dosa, menerima taubat, dan membebaskan hamba-hamba yang diridhai-Nya dari siksa api neraka. Begitu agungnya hari tersebut, sehingga Rasulullah bersabda, “Haji adalah (wuquf di) Arafah.” (HR. Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadits shahih)

5. Hari penyembelihan
Hari penyembelihan atau biasa disebut yaum an-nahr dan idul Adha, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijah setiap tahun. Ia merupakan hari raya seluruh umat Islam, dan bagi para jama’ah haji merupakan salah satu rangkaian manasik haji yang sangat penting. Sebagian ulama bahkan berpendapat hari tersebut merupakan hari paling mulia dalam satu tahun, sebagaimana hadits dari Abdullah bin Qurth RA bahwasanya Nabi bersabda :
أَعْظَمُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ يَوْمُ النَّحْرِ ، ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
 “Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari penyembelihan dan hari sesudahnya.”(HR. Ahmad, An-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ath-Thabarani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Abu Nu’aim al-Asbahani)

6. Induk berbagai ibadah terkumpul pada hari-hari tersebut.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari mengatakan, “Nampaknya hal yang menyebabkan keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah berkumpulnya induk-induk ibadah pada hari-hari tersebut, yaitu shalat, shaum, sedekah, dan haji. Hal itu tidak mungkin terkumpul pada hari-hari yang lain”

Keutamaan amal shalih pada 10 hari pertama Dzulhijah

Terdapat beberapa hadits shahih yang menerangkan keutamaan amal shalih pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah. Di antaranya adalah :

عَنْ  ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ فَقَالُوا : يَا رَسُولَ الله وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Dari Ibnu Abbas RA berkata, Rasulullah bersabda, “Tidak ada hari-hari yang amal shalih pada waktu tersebut lebih dicintai Allah melebihi hari-hari sepuluh (bulan Dzulhijah ini)” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak juga amalan jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar berperang di jalan Allah dengan nyawa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan membawa sesuatu pun (ia gugur di jalan Allah).” (HR. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَذُكِرَتِ الْأَعْمَالُ فَقَالَ : مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ فِيهِنَّ أَفْضَلُ مِنْ هَذِهِ الْعَشْرِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ؟ قَالَ : فَأَكْبَرَهُ فَقَالَ : وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا أَنْ يَخْرُجَ رَجُلٌ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فِي سَبِيلِ اللهِ  ثُمَّ تَكُونَ  مُهْجَةُ نَفْسِهِ فِيهِ

Dari Abdullah bin Amru bin Ash RA berkata: “Saya tengah berada di sisi Rasulullah lalu disebutkan beberapa amal shalih, maka beliau bersabda, “Tidak ada hari-hari yang amal shalih pada waktu tersebut lebih mulia daripada hari-hari sepuluh (bulan Dzulhijah ini)” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak juga amalan jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar berperang di jalan Allah dengan nyawa dan hartanya, kemudian ia gugur di jalan Allah.” (HR. Ahmad, Ath-Thahawi, dan Abu Nu’aim al-Asbhani. Dinyatakan shahih oleh muhaqqiq Hilyatul Awliya’)

Imam At-Tirmidzi menyatakan terdapat hadits dengan lafal yang serupa dari jalur Abu Hurairah dan Jabir bin Abdullah RA. Kedua hadits di atas dan hadits-hadits penguatnya menunjukkan beberapa pelajaran penting bagi umat Islam:

Amal shalih apapun lebih dicintai oleh Allah jika dikerjakan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, melebihi cinta Allah apabila amal shalih tersebut dikerjakan di hari-hari yang lain.

Karena amal shalih yang dikerjakan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah, maka hal itu bermakna amal tersebut lebih mulia dan lebih utama di sisi Allah.

Orang yang beramal shalih pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih utama daripada orang yang berjihad dengan nyawa dan hartanya di hari-hari yang lain lalu ia bisa kembali kepada keluarganya dengan selamat.

Semua amal shalih pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, tanpa terkecuali, akan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah.

Sungguh sebuah bazar amal yang sangat menguntungkan bagi setiap Muslim.
Amalan-amalan yang sangat dianjurkan dalam 10 hari pertama Dzulhijah Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah musim kebaikan. Sudah selayaknya setiap muslim memberikan perhatian yang lebih terhadapnya. Sudah sewajarnya setiap muslim meningkatkan amal shalihnya pada waktu tersebut, melebihi amal shalihnya pada waktu yang lain. Seorang ulama tabi’in, Abu Utsman Abdurrahman bin Mull an-Nahdi (wafat tahun 95 H) berkata:

Generasi salaf (sahabat) sangat memuliakan puluhan hari yang tiga; sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama Dzulhijah, dan sepuluh hari pertama Muharram

Adapun amalan yang selayaknya dilakukan oleh setiap muslim yang memiliki kemampuan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah ini adalah sebagai berikut:

Pertama, haji dan umrah. 
Rasulullah bersabda, “Satu umrah ke umrah lainnya menjadi penghapus dosa-dosa di antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasan yang setimpal untuknya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan ikhlas demi meraih ridha Allah dan dikerjakan sesuai tuntunan Rasulullah. Ciri utamanya adalah keimanan, ketakwaan, dan amal shalih pelakunya setelah mengerjakan haji mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik.

Ketiga,  Shaum sunnah, yaitu shaum sunnah antara tanggal 1-9 Dzulhijah. Minimal mengerjakan shaum sunnah Arafah tanggal 9 Dzulhijah bagi selain jama’ah haji.

Shaum sunnah adalah amal shalih yang sangat dicintai oleh Allah. Allah bahkan menganggap Dzat-Nya sebagai pemilik khusus shaum, dan Allah sendiri yang akan memberikan balasannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah berfirman, “Semua amal anak manusia untuk dirinya sendiri, kecuali shaum, karena sesungguhnya shaum itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika kita tidak mampu memperbanyak shaum sunnah pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijah ini, maka setidaknya kita melaksanakan shaum hari Arafah pada tanggal sembilan Dzulhijah. Rasulullah  bersabda tentang keutamaan shaum hari Arafah.

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ ، وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Shaum hari Arafah, aku mengharap Allah menghapuskan dengannya dosa satu tahun sebelumnya dan dosa satu tahun sesudahnya.” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Empat, shalat wajib lima waktu secara berjama’ah di masjid dan memperbanyak shalat sunnah.
Sebaiknya setiap muslim menjaga pelaksanaan shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, shalat Tahajud, shalat Witir, shalat tahiyatul masjid, dan shalat sunnah lainnya. Dalam hadits qudsi Allah SWT berfirman, “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Lima,  tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan dzikir
Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan dzikir pada sepuluh hari pertama Dzulhijah berdasar firman Allah,
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Haj (22): 28)

Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda :                            
عَنِ  ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيد

 “Tiada hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal kebaikan pada hari tersebut lebih dicintai oleh Allah, melebihi sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah ini. Maka hendaklah kalian memperbanyak tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad)

Imam Bukhari berkata, “Ibnu Umar dan Abu Hurairah RA keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah. Keduanya mengumandangkan takbir, maka orang-orang mengikuti keduanya dalam mengumandangkan takbir. Ibnu Umar juga mengumandangkan takbir dari dalam tendanya di Mina, maka jama’ah masjid yang mendengarnya ikut mengumandangkan takbir. Mendengar hal itu, orang-orang di Pasar ikut mengumandangkan takbir, sehingga Mina bergemuruh dengan suara takbir. Pada hari-hari tersebut, Ibnu Umar mengumandangkan takbir di Mina, setelah shalat wajib, di atas kasur, tenda, tempat duduk, dan jalan yang dilaluinya. Ia bertakbir pada seluruh hari tersebut.”

Enam. sedekah.
Sedekah secara umum hukumnya sunnah, dan nilai kesunnahannya pada sepuluh hari pertama bulanDzulhijah ini semakin kuat. Allah SWT berfirman (yang artinya).

 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 261).

Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.”  (QS. Saba (34) : 39).

Tujuh. Menyembelih hewan kurban
Di antara bentuk sedekah adalah menyembelih hewan kurban dan membagi-bagikan dagingnya kepada kaum muslimin pada tanggal 10 Dzulhijah.
Dari Anas bin Malik RA berkata, “Nabi SAW berkurban dengan menyembelih dua ekor domba yang berwarna putih dan bertanduk dua. Beliau membaca bismillah dan takbir, menekankan kakinya ke sisi leher domba, dan menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sepertiga untuk yang berkurban dan panitia, sepertiga untuk hadiah kepada kaum muslimin, sepertiga untuk yang memerlukan.

Selain amalan-amalan di atas, terdapat banyak amalan yang selayaknya digalakkan. Antara lain: membaca Al-Qur’an, membaca istighfar, berbakti kepada orang tua, menyambung tali kekerabatan, menyebar luaskan salam, memberikan makanan, mendamaikan dua pihak yang bersengketa, amar ma’ruf dan nahi munkar, menjaga lisan dan kemaluan, berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu, memberi nafkah kepada keluarga, mengasuh anak yatim, menengok orang sakit, membantu kesulitan orang lain, menunaikan amanat, mengembalikan barang titipan, melunasi hutang, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam bishshawab. Dari berbagai sumber. Kudus, 6 Oktober 2013/01 Dzulhijjah 1434 H. Al Faqir Ilal ‘Aliyyil Qadir.*/Abu Ali Haidar

Sumber :
http://www.hidayatullah.com/read/2013/10/10/6762/keutamaan-amalan-10-hari-pertama-bulan-dzulhijah-2.html

AMALAN-AMALAN UTAMA DI BULAN DZULHIJJAH

alls

 Dzulhijjah adalah salah satu bulan mulia dalam kalender Islam. Banyak umat Islam yang menantikan kedatangannya, khususnya para calon jamaah haji, juga tentunya para peternak hewan qurban. Berikut ini adalah beberapa keutamaan bulan Dzulhijjah yang mesti kita ketahui dan semoga bisa memancing kita untuk melakukan banyak amal kebaikan pada bulan tersebut.

1. Dzulhijah termasuk Asyhurul Hurum
Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah Ta’ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan haram). Maksudnya, saat itu manusia dilarang (diharamkan) untuk berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak.[1]
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram …” (QS. Al Maidah (5): 2)
Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan-bulan haram, yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) adalahDzulqa’dah, Dzulhijjah, Rajab, dan Muharam. (Sunan At Tirmidzi No. 1512)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السنة اثنا عشر شهراً، منها أربعةٌ حرمٌ: ثلاثٌ متوالياتٌ ذو القعدة، وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان”.
“Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga bulan berurutan yaitu adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam, dan (satu bulan sendiri yaitu) Rajab Mudhar yang berada di antara bulan Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025 dan Muslim no. 3179)
Dalam syarah (penjelasan) kitab Shahih Bukhari dan Muslim, yakni Fathul Bari karya Ibnu Hajar dan Al Minhaj karya Imam An Nawawi, diterangkan, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyandarkan bulan Rajab kepada kabilah Mudhar di dalam banyak hadits adalah untuk memperjelas. Para ulama mengatakan, dahulu kala kabilah Mudhar dan kabilah Rabi’ah berbeda dalam menyebut bulan Rajab. Menurut kabilah Mudhar, bulan Rajab adalah bulan yang terletak di antara Jumadil akhir dan Sya’ban, sementara menurut kabilah Rabi’ah, bulan Rajab itu disebut dengan bulan Ramadhan.
2. Anjuran Banyak Ibadah Pada Sepuluh Hari Pertama (Tanggal 1-10 Dzulhijjah)
Sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah memiliki keutamaan yang besar. Disebutkan dalam Al Quran:
وَالْفَجْرِ (1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2)
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr (89): 1-2)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan maknanya:
والليالي العشر: المراد بها عشر ذي الحجة. كما قاله ابن عباس، وابن الزبير، ومجاهد، وغير واحد من السلف والخلف.
(Dan demi malam yang sepuluh): maksudnya adalah sepuluh hari pada Dzulhijjah. Sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, Ibnu Az Zubeir, Mujahid, dan lebih dari satu kalangan salaf dan khalaf.[2]
Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah sepuluh hari awal Muharram, ada juga ulama yang memaknai sepuluh hari awal Ramadhan. Namun yang benar adalah pendapat yang pertama,[3] yakni sepuluh awal bulan Dzulhijjah.
Keutamaannya pun juga disebutkan dalam As Sunnah. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيءٍ
“Tidak ada amal yang lebih afdhal dibanding amal pada hari-hari ini.” Mereka bertanya: “Tidak juga jihad?” Beliau menjawab: “Tidak pula oleh jihad, kecuali seseorang yang keluar untuk mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu dia tidak kembali dengan sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari No. 969)
Imam Ibnu Katsir mengatakan maksud dari “pada hari-hari ini” adalah sepuluh hari Dzulhijjah.[4]
Maka, amal-amal shalih apa pun bisa kita lakukan antara tanggal satu hingga sepuluh Dzulhijjah; sedekah, shalat sunnah, shaum –kecuali pada tanggal sepuluh Dzulhijjah- , silaturrahim, dakwah, jihad, dan lainnya. Amal-amal ini pada hari-hari itu dinilai lebih afdhal dibanding jihad, apalagi berjihad pada hari-hari itu, tentu memiliki keutamaan lebih dibanding jihad pada selain hari-hari itu.
Untuk berpuasa pada sepuluh hari ini, ada dalil khusus sebagaimana diriwayatkan oleh Hafshah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ
Ada empat hal yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah meninggalkannya: puasa ‘Asyura, Al ‘Asyr (puasa 10 hari Dzulhijjah), puasa tiga hari tiap bulan, dan dua rakaat sebelum subuh. (HR. An Nasa’i, dalam As Sunan Al Kubra No. 2724, Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 7048, Ahmad No. 26456)
Hanya saja para ulama mendhaifkan hadits ini. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Hadits ini dhaif, kecuali sabdanya: “dua rakaat sebelum subuh,” yang ini shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 26456)
Didhaifkan pula oleh Syaikh Al Albani. (Irwa’ul Ghalil, No. 954)
3. Shaum ‘Arafah (Pada 9 Dzulhijjah)
Dari Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Nabi ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, beliau menjawab: “Menghapuskan dosa tahun lalu dan tahun kemudian.” (HR. Muslim No. 1162, At Tirmidzi No. 749, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 2805, Ath Thabari dalam Tahdzibul Atsar No. 763, Ahmad No. 22535, 22650. Ibnu Khuzaimah No. 2117, dan ini adalah lafaz Imam Muslim)
Hadits ini menunjukkan sunahnya puasa ‘Arafah.
Apakah Yang Sedang Wuquf Dilarang Berpuasa ‘Arafah?
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وقد استحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا بعرفة
Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada hari ‘Arafah, kecuali bagi yang sedang di ‘Arafah. (Sunan At Tirmidzi, komentar hadits No. 749)
Apa dasarnya bagi yang sedang wuquf di ‘Arafah dilarang berpuasa?
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah. (HR. Abu Daud No. 2440, Ibnu Majah No. 1732, Ahmad No. 8031, An Nasa’i No. 2830, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 2731, Ibnu Khuzaimah No. 2101, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1587)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” (Al Mustadrak No. 1587) Imam Adz Dzahabi menyepakati penshahihannya.
Dishahihkan pula oleh Imam Ibnu Khuzaimah, ketika beliau memasukkannya dalam kitab Shahihnya. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar:
قُلْت قَدْ صَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَ وَثَّقَ مَهْدِيًّا الْمَذْكُورَ: ابْنُ حِبَّانَ
Aku berkata: Ibnu khuzaimah telah menshahihkannya, dan Mahdi telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. (At Talkhish, 2/461-462)
Namun ulama lain menyatakan bahwa hadits ini dhaif.[5]
Mereka menyanggah tashhih (penshahihan) tersebut, karena perawi hadits ini yakni Syahr bin Hausyab dan Mahdi Al Muharibi bukan perawi Bukhari dan Muslim sebagaimana yang diklaim Imam Al Hakim.
Imam Al Munawi mengatakan:
قال الحاكم : على شرط البخاري وردوه بأنه وهم إذ مهدي ليس من رجاله بل قال ابن معين : مجهول ، وقال العقيلي : لا يتابع عليه لضعفه
Berkata Al Hakim: “Sesuai syarat Bukhari,” mereka (para ulama) telah menyanggahnya karena terjadi ketidakjelasan pada Mahdi, dia bukan termasuk perawinya Bukhari, bahkan Ibnu Ma’in mengatakan: majhul. Al ‘Uqaili mengatakan: “Dia tidak bisa diikuti karena kelemahannya.” (Faidhul Qadir, 6/431)
Lalu, Mahdi Al Muharibi – dia adalah Ibnu Harb Al Hijri, dinyatakan majhul (tidak diketahui) keadaannya oleh para muhadditsin.
Syaikh Al Albani berkata:
قلت : وإسناده ضعيف ومداره عند الجميع على مهدي الهجري وهو مجهول
Aku berkata: isnadnya dhaif, semua sanadnya berputar pada Mahdi Al Hijri, dan dia majhul. (Tamamul Minnah Hal. 410)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata:
إسناده ضعيف، لجهالة مهدي المحاربي -وهو ابن حرب الهجري-، وذكره ابن حبان في “الثقات”، وهو تساهل منه.
Isnadnya dhaif, karena ke-majhul-an Mahdi Al Muharibi, dia adalah Ibnu Harbi Al Hijri, dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats Tsiqaat (orang-orang terpercaya), dia (Ibnu Hibban) memang yang menggampangkannya (untuk ditsiqahkan, pen). (Ta’liq Musnad Ahmad No. 8041)
Telah masyhur bagi para ulama hadits, bahwa Imam Ibnu Hibban adalah imam hadits yang dinilai terlalu mudah men-tsiqah-kan perawi yang majhul.
Majhulnya Mahdi Al Muharibi juga di sebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (At Talkhish Al Habir, 2/461), Imam Al ‘Uqaili mengatakan dalam Adh Dhuafa: “Dia tidak bisa diikuti.” (Ibid)
Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Abu Hatim mengatakan: Laa A’rifuhu – saya tidak mengenalnya. (Imam Ibnu Mulqin, Al Badrul Munir, 5/749)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan:
وفي إسناده نظر، فإن مهدي بن حرب العبدي ليس بمعروف
Dalam isnadnya ada yang perlu dipertimbangkan, karena Mahdi bin Harb Al ‘Abdi bukan orang yang dikenal. (Zaadul Ma’ad, 1/61), begitu pula dikatakan majhul oleh Imam Asy Syaukani. (Nailul Authar, 4/239)
Maka, pandangan yang lebih kuat adalah tidak ada yang shahih larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah. Oleh karenanya Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan:
لم يثبت أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قد نهى عن صيام هذا اليوم
Tidak ada yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang berpuasa pada hari ini ( 9 Dzhulhijjah). (Ta’liq Musnad Ahmad, No. 8031)
Tetapi, di sisi lain juga tidak ada yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa ketika wuquf di ‘Arafah.
Diriwayatkan secara shahih:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ أَنَّهُمْ شَكُّوا فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحٍ مِنْ لَبَنٍ فَشَرِبَهُ
Dari Ummu Al Fadhl, bahwa mereka ragu tentang berpuasanya Nabi Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari ‘Arafah, lalu dikirimkan kepadanya segelas susu, lalu dia meminumnya. (HR. Bukhari No. 5636)
Oleh karenanya Imam Al ‘Uqaili mengatakan:
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَسَانِيدَ جِيَادٍ أَنَّهُ لَمْ يَصُمْ يَوْمَ عَرَفَةَ بِهَا وَلَا يَصِحُّ عَنْهُ النَّهْيُ عَنْ صِيَامِهِ
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sanad-sanad yang baik, bahwa Beliau belum pernah berpuasa pada hari ‘Arafah ketika berada di sana, dan tidak ada yang shahih darinya tentang larangan berpuasa pada hari itu. (Adh Dhuafa, No. 372)
Para sahabat yang utama pun juga tidak pernah berpuasa ketika mereka di ‘Arafah.
Disebutkan oleh Nafi’ –pelayan Ibnu Umar, sebagai berikut:
عن نافع قال سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة بعرفة قال لم يصمه رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا أبو بكر ولا عمر ولا عثمان
Dari Nafi’, dia berkata: Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa hari ‘Arafah ketika di ‘Arafah, dia menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berpuasa, begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. An Nasa’i, As Sunan Al Kubra No. 2825)
Maka, larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang di ‘Arafah tidaklah pasti, di sisi lain, Nabi pun tidak pernah berpuasa ketika sedang di ‘Arafah, begitu pula para sahabat setelahnya. Oleh karena itu, kemakruhan berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah bagi yang sedang wuquf telah diperselisihkan para imam kaum muslimin. Sebagian memakruhkan dan pula ada yang membolehkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau tidak pernah melakukannya, tetapi juga tidak melarang puasa ‘Arafah bagi yang wuquf di ‘Arafah.
سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة فقال حججت مع النبي صلى الله عليه و سلم فلم يصمه وحججت مع أبي بكر فلم يصمه وحججت مع عمر فلم يصمه وحججت مع عثمان فلم يصمه وأنا لا أصومه ولا أمر به ولا أنهى عنه
Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa pada hari ‘Arafah, beliau menjawab: “Saya haji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau tidak berpuasa, saya haji bersama Abu Bakar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama Umar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama ‘Utsman dia juga tidak berpuasa, dan saya tidak berpuasa juga, saya tidak memerintahkan dan tidak melarangnya.” (Sunan Ad Darimi No. 1765. Syaikh Husein Salim Asad berkata:isnaduhu shahih.)
Kalangan Hanafiyah mengatakan, boleh saja berpuasa ‘Arafah bagi jamaah haji yang sedang wuquf jika itu tidak membuatnya lemah. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/25)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan bahwa tidak dianjurkan mereka berpuasa, walaupun kuat fisiknya, tujuannya agar mereka kuat berdoa:
أما الحاج فلا يسن له صوم يوم عرفة، بل يسن له فطره وإن كان قوياً، ليقوى على الدعاء، واتباعاً للسنة
Ada pun para haji, tidaklah disunahkan berpuasa pada hari ‘Arafah, tetapi disunahkan untuk berbuka walau pun dia orang yang kuat, agar dia kuat untuk banyak berdoa, dan untuk mengikuti sunah.(Ibid, 3/24) Jadi, menurutnya “tidak disunahkan”, dan tidak disunahkan bukan bermakna tidak boleh.
Namun mayoritas madzhab memakruhkannya, berikut ini rinciannya:
Hanafiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah jika membuat lemah, begitu juga puasa tarwiyah (8 Dzulhijjah).
Malikiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah, begitu pula puasa tarwiyah.
Syafi’iyah: jika jamaah haji mukim di Mekkah, lalu pergi ke ‘Arafah siang hari maka puasanya itu menyelisihi hal yang lebih utama, jika pergi ke ‘Arafah malam hari maka boleh berpuasa. Jika jamaah haji adalah musafir, maka secara mutlak disunahkan untuk berbuka.
Hanabilah: Disunahkan bagi para jamaah haji berpuasa pada hari ‘Arafah jika wuqufnya malam, bukan wuquf pada siang hari, jika wuqufnya siang maka makruh berpuasa. (Lihat rinciannya dalam Al Fiqhu ‘Alal Madzahib Al Arba’ah, 1/887, karya Syaikh Abdurrahman Al Jazairi)
4. Shalat Idul Adha dan Menyembelih Hewan Qurban
Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman;
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
Shalat Idul Adha (juga Idhul Fitri) adalah sunah muakadah. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
شرعت صلاة العيدين في السنة الاولى من الهجرة، وهي سنة مؤكدة واظب النبي صلى الله عليه وسلم عليها وأمر الرجال والنساء أن يخرجوا لها.
Disyariatkannya shalat ‘Idain (dua hari raya) pada tahun pertama dari hijrah, dia adalah sunah muakadah yang selalu dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau memerintahkan kaum laki-laki dan wanita untuk keluar meramaikannya. (Fiqhus Sunnah, 1/317)
Ada pun kalangan Hanafiyah berpendapat wajib, tetapi wajib dalam pengertian madzhab Hanafi adalah kedudukan di antara sunah dan fardhu.
Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
صَلاَةُ الْعِيدَيْنِ وَاجِبَةٌ عَلَى الْقَوْل الصَّحِيحِ الْمُفْتَى بِهِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ – وَالْمُرَادُ مِنَ الْوَاجِبِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ : أَنَّهُ مَنْزِلَةٌ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالسُّنَّةِ – وَدَلِيل ذَلِكَ : مُوَاظَبَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا مِنْ دُونِ تَرْكِهَا وَلَوْ مَرَّةً
Shalat ‘Idain adalah wajib menurut pendapat yang shahih yang difatwakan oleh kalangan Hanafiyah –maksud wajib menurut madzhab Hanafi adalah kedudukan yang setara antara fardhu dan sunah. Dalilnya adalah begitu bersemangatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, Beliau tidak pernah meninggalkannya sekali pun. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/240)
Sedangkan Syafi’iyah dan Malikiyah menyatakan sebagai sunah muakadah, dalilnya adalah karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh orang Arab Badui tentang shalat fardhu, Nabi menyebutkan shalat yang lima. Lalu Arab Badui itu bertanya:
هَل عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ ؟ قَال لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ
Apakah ada yang selain itu? Nabi menjawab: “Tidak ada, kecuali yang sunah.” (HR. Bukhari No. 46)
Bukti lain bahwa shalat ‘Idain itu sunah adalah shalat tersebut tidak menggunakan adzan dan iqamah sebagaimana shalat wajib lainnya. Shalat tersebut sama halnya dengan shalat sunah lainnya tanpa adzan dan iqamah, seperti dhuha, tahajud, dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa shalat ‘Idain adalah sunah.
Sedangkan Hanabilah mengatakan fardhu kifayah, alasannya adalah karena firman Allah Ta’ala menyebutkan shalat tersebut dengan kalimat perintah: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2). Juga karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu merutinkannya. (Ibid, 27/240)
Insya Allah, secara khusus pada kesempatan lain akan kami bahas pula adab-adab pada hari raya.
Selanjutnya berqurban, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, ada yang mengatakan wajib bagi yang memiliki kelapangan rezeki, ada pula yang mengatakan sunah mu’akadah, dan inilah pendapat mayoritas sahabat, tabi’in, dan para ulama.
Ulama yang mewajibkan berdalil dengan hadits berikut, dari Abu Hurairah Radhiallhu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah No. 3123, Al Hakim No. 7565, Ahmad No. 8273, Ad Daruquthni No. 53, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 7334)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya No. 7565, katanya:“Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Imam Adz Dzahabi menyepakati hal ini.
Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 6490, namun hanya menghasankan dalam kitab lainnya seperti At Ta’liq Ar Raghib, 2/103, dan Takhrij Musykilat Al Faqr,No. 102.
Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth mendhaifkan hadits ini, dan beliau mengkritik Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi dengan sebutan: “wa huwa wahm minhuma – ini adalah wahm (samar/tidak jelas/ragu) dari keduanya.” Beliau juga menyebut penghasanan yang dilakukan Syaikh Al Albani dengan sebutan: “fa akhtha’a – keliru/salah.” (Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 8273)
Mengomentari hadits ini, berkata Imam Amir Ash Shan’ani Rahimahullah:
وَقَدْ اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى وُجُوبِ التَّضْحِيَةِ عَلَى مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ لِأَنَّهُ لَمَّا نَهَى عَنْ قُرْبَانِ الْمُصَلَّى دَلَّ عَلَى أَنَّهُ تَرَكَ وَاجِبًا كَأَنَّهُ يَقُولُ لَا فَائِدَةَ فِي الصَّلَاةِ مَعَ تَرْكِ هَذَا الْوَاجِبِ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى { فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ } وَلِحَدِيثِ مِخْنَفِ بْنِ سُلَيْمٍ مَرْفُوعًا { عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ } دَلَّ لَفْظُهُ عَلَى الْوُجُوبِ ، وَالْوُجُوبُ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ
“Hadits ini dijadikan dalil wajibnya berkurban bagi yang memiliki kelapangan rezeki, hal ini jelas ketika Rasulullah melarang mendekati tempat shalat, larangan itu menunjukkan bahwa hal itu merupakan meninggalkan kewajiban, seakan Beliau mengatakan shalatnya tidak bermanfaat jika meninggalkan kewajiban ini. Juga karena firmanNya: “maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” Dalam hadits Mikhnaf bin Sulaim secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah) berbunyi: “ (wajib) atas penduduk setiap rumah pada tiap tahunnya untuk berkurban.” Lafaz hadits ini menunjukkan wajibnya. Pendapat yang menyatakan wajib adalah dari Imam Abu Hanifah.[6]
Sementara yang tidak mewajibkan, menyatakan bahwa dua hadits di atas tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), sebab yang pertama mauquf (hanya sampai sahabat nabi, bukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), hadits kedua dha’if. Sedangkan ayat Fashalli li Rabbika wanhar, tidak bermakna wajib kurban melainkan menunjukkan urutan aktifitas, yakni menyembelih kurban dilakukan setelah shalat Id.
Berikut keterangan dari Imam Ash Shan’ani:
وَقِيلَ لَا تَجِبُ وَالْحَدِيثُ الْأَوَّلُ مَوْقُوفٌ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ وَالثَّانِي ضَعْفٌ بِأَبِي رَمْلَةَ قَالَ الْخَطَّابِيُّ : إنَّهُ مَجْهُولٌ وَالْآيَةُ مُحْتَمِلَةٌ فَقَدْ فُسِّرَ قَوْلُهُ ( { وَانْحَرْ } ) بِوَضْعِ الْكَفِّ عَلَى النَّحْرِ فِي الصَّلَاةِ أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ شَاهِينَ فِي سُنَنِهِ وَابْنُ مَرْدُوَيْهِ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَفِيهِ رِوَايَاتٌ عَنْ الصَّحَابَةِ مِثْلُ ذَلِكَ وَلَوْ سُلِّمَ فَهِيَ دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ النَّحْرَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ تَعْيِينٌ لِوَقْتِهِ لَا لِوُجُوبِهِ كَأَنَّهُ يَقُولُ إذَا نَحَرْت فَبَعْدَ صَلَاةِ الْعِيدِ فَإِنَّهُ قَدْ أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَنَسٍ { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْحَرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَأُمِرَ أَنْ يُصَلِّيَ ثُمَّ يَنْحَرُ } وَلِضَعْفِ أَدِلَّةِ الْوُجُوبِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ إلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ بَلْ قَالَ ابْنُ حَزْمٍ لَا يَصِحُّ عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ .
“Dikatakan: Tidak wajib, karena hadits pertama adalah mauquf dan tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Hadits kedua (dari Mikhnaf bin Sulaim) dhaif karena dalam sanadnya ada Abu Ramlah. Berkata Imam Al Khathabi: “Dia itu majhul (tidak dikenal).” Sedangkan firmanNya: “…berkurbanlah.”adalah tentang penentuan waktu penyembelihan setelah shalat. Telah diriwayatkan oleh Abu Hatim, Ibnu Syahin di dalam sunan-nya, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas dan didalamnya terdapat beberapa riwayat dari sahabat yang seperti ini, yang menunjukkan bahwa menyembelih kurban itu dilakukan setelah shalat (‘Ied). Maka ayat itu secara khusus menjelaskan tentang waktu penyembelihnnya, bukan menunjukkan kewajibannya. Seolah berfirman: Jika engkau menyembelih maka (lakukan) setelah shalat ‘Ied. Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Anas: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyembelih sebelum shalat Id, lalu Beliau diperintahkan untuk shalat dulu baru kemudian menyembelih.” Maka nyatalah kelemahan alasan mereka yang mewajibkannya. Sedangkan, madzhab jumhur (mayoritas) dari sahabat, tabi’in, dan ahli fiqih, bahwa menyembelih qurban adalah sunah mu’akkadah, bahkan Imam Ibnu Hazm mengatakan tidak ada yang shahih satu pun dari kalangan sahabat yang menunjukkan kewajibannya.”[7]
Seandainya hadits-hadits di atas shahih, itu pun tidak menunjukkan kewajibannya. Sebab dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Jika kalian memasuki tanggal 10 (Dzulhijjah) dan hendak berkurban maka janganlah dia menyentuh sedikit pun dari rambutnya dan kulitnya.” (HR. Muslim No. 1977)[8]
Hadits tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa berkurban itu terkait dengan kehendak, manusianya oleh karena itu Imam Asy Syafi’i menjadikan hadits ini sebagai dalil tidak wajibnya berkurban alias sunah.
Berikut ini keterangannya:
قال الشافعي إن قوله فأراد أحدكم يدل على عدم الوجوب
Berkata Asy Syafi’i: “Sesungguhnya sabdanya “lalu kalian berkehendak”menunjukkan ketidak wajibannya.[9]
Insya Allah tentang Fiqih Qurban akan kami bahas pada hari-hari yang akan datang.
5. Tidak Berpuasa pada Hari Raya (10 Dzulhijah) dan hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari ‘Arafah, hari penyembelihan qurban, hari-hari tasyriq, adalah hari raya kita para pemeluk islam, itu adalah hari-hari makan dan minum. (HR. At Tirmidzi No. 773, katanya:hasan shahih, Ad Darimi No. 1764)[10]
Dari Nubaisyah Al Hudzalli, katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.” (HR. Muslim No. 1141)
Inilah di antara dalil agar kita tidak berpuasa pada hari raya dan hari-hari tasyriq, karena itu adalah hari untuk makan dan minum. Sedangkan untuk puasa pada hari ‘Arafah sudah dibahas pada bagian sebelumnya.
Imam At Tirmidzi berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ الصِّيَامَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ إِلَّا أَنَّ قَوْمًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ رَخَّصُوا لِلْمُتَمَتِّعِ إِذَا لَمْ يَجِدْ هَدْيًا وَلَمْ يَصُمْ فِي الْعَشْرِ أَنْ يَصُومَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ وَبِهِ يَقُولُ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ
Para ulama mengamalkan hadits ini, bahwa mereka memakruhkan berpuasa pada hari-hari tasyriq, kecuali sekelompok kaum dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdan selain mereka, yang memberikan keringanan untuk berpuasa pada hari-hari tasyriq bagi orang yang berhaji tamattu’ jika belum mendapatkan hewan untuk berqurban dan dia belum berpuasa pada hari yang sepuluh (pada bulan Dzulhijjah, pen). Inilah pendapat Malik bin Anas, Asy Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. (Sunan At Tirmidzi, lihat komentar hadits No. 773)
Pada saat itu dibolehkan mengadakan acara (haflah) makan dan minum, karena memang kaum muslimin sedang berbahagia. Hal itu sama sekali bukan perbuatan yang dibenci.
Al Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan terhadap hadits ini, katanya:
وأن الأكل والشرب في المحافل مباح ولا كراهة فيه
“Sesungguhnya makan dan minum pada berbagai acara adalah mubah dan tidak ada kemakruhan di dalamnya.”[11]
6. Berdzikir Kepada Allah Ta’ala pada hari-hari Tasyriq
Dalam riwayat Imam Muslim, dari Nubaisyah Al Hudzalli, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum. (HR. Muslim No. 1141), dan dalam riwayat Abu Al Malih ada tambahan: “dan hari berdzikir kepada Allah.” (HR. Muslim No. 1141)
Pada hari-hari tasyriq kita dianjurkan banyak berdzikir, karena Nabi juga mengatakan hari tasyriq adalah hari berdzikir kepada Allah Ta’ala. Agar kebahagian dan pesta kaum muslimin tetap dalam bingkai kebaikan, dan tidak berlebihan.
Imam Ibnu Habib menjelaskan tentang berdzikir pada hari-hari tasyriq:
يَنْبَغِي لِأَهْلِ مِنًى وَغَيْرِهِمْ أَنْ يُكَبِّرُوا أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ إِذَا اِرْتَفَعَ ثُمَّ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ بِالْعَشِيِّ وَكَذَلِكَ فَعَلَ وَأَمَّا أَهْلُ الْآفَاقِ وَغَيْرُهُمْ فَفِي خُرُوجِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى وَفِي دُبُرِ الصَّلَوَاتِ وَيُكَبِّرُونَ فِي خِلَالِ ذَلِكَ وَلَا يَجْهَرُونَ
Hendaknya bagi penduduk Mina dan selain mereka untuk bertakbir pada awal siang (maksudnya pagi, pen), lalu ketika matahari meninggi, lalu ketika matahari tergelincir, kemudian pada saat malam, demikian juga yang dilakukan. Ada pun penduduk seluruh ufuk dan selain mereka, pada setiap keluarnya mereka ke tempat shalat dan setelah shalat hendaknya mereka bertakbir pada saat itu, dan tidak dikeraskan.[12]
Maka, boleh saja bertakbir saat hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah) sebagaimana yang kita lihat pada sebagian masjid dan surau, yang mereka lakukan setelah shalat. Hal ini berbeda dengan Idul Fithri yang bertakbirnya hanya sampai naiknya khatib ke mimbar ketika shalat Idul Fithri, yaitu takbir dalam artian ‘takbiran’-nya hari raya. Ada pun sekedar mengucapkan takbir (Allahu Akbar) tentunya boleh kapan pun juga.
Demikian. Semoga bermanfaat …….
Wallahu A’lam

__________________________________

[1] Sebagian imam ahli tafsir menyebutkan bahwa, hukum berperang pada bulan-bulan haram adalah dibolehkan, sebab ayat ini telah mansukh (direvisi) secara hukum oleh ayat: “Perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian menjumpainya ….”. Sementara, ahli tafsir lainnya mengatakan, bahwa ayat ini tidak mansukh, sehingga larangan berperang pada bulan itu tetap berlaku kecuali darurat. Dan, Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini mansukh (direvisi) hukumnya. (Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelarangan hanya terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam)
[2] Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Dar Ath Thayyibah
[3] Ibid
[4] Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Lihat Syaikh Sayyid Ath Thanthawi, Al Wasith, 1/4497. Mawqi’ At Tafasir
[5] Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Ta’liq Musnad Ahmad No. 8031, Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya seperti Tamamul Minnah Hal. 410, At Ta’liq Ar Raghib, 2/77, Dhaif Abi Daud No. 461, dan lainnya
[6] Subulus Salam, 4/91
[7] Ibid
[8] Berkata Imam An Nawawi tentang maksud hadits ini:
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِيمَنْ دَخَلَتْ عَلَيْهِ عَشْر ذِي الْحِجَّة وَأَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ فَقَالَ سَعِيد بْن الْمُسَيِّب وَرَبِيعَة وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَدَاوُد وَبَعْض أَصْحَاب الشَّافِعِيّ : إِنَّهُ يَحْرُم عَلَيْهِ أَخْذ شَيْء مِنْ شَعْره وَأَظْفَاره حَتَّى يُضَحِّي فِي وَقْت الْأُضْحِيَّة ، وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه : هُوَ مَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه وَلَيْسَ بِحَرَامٍ ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة : لَا يُكْرَه ، وَقَالَ مَالِك فِي رِوَايَة : لَا يُكْرَه ، وَفِي رِوَايَة : يُكْرَه ، وَفِي رِوَايَة : يَحْرُم فِي التَّطَوُّع دُون الْوَاجِب .
Ulama berbeda pendapat tentang orang yang memasuki 10 hari bulan Zulhijjah dan orang yang hendak berquban. Sa’id bin Al Musayyib, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Daud, dan sebagian pengikut Asy Syafi’I mengatakan: sesungguhnya haram baginya memotong rambut dan kukunya sampai dia berqurban pada waktu berqurban. Asy Syafi’i dan pengikutnya mengatakan: hal itu makruh, yakni makruh tanzih (makruh mendekati boleh), tidak haram. Abu Hanifah mengatakan: tidak makruh. Malik mengatakan: tidak makruh. Pada riwayat lain dari Malik; makruh. Pada riwayat lain: diharamkan pada haji yang sunah, bukan yang wajib. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/472)
[9] Subulus Salam, 4/91
[10] Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnaduhu shahih. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1586, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tetapi mereka tidak meriwayatkannya.”
[11] Fathul Bari, 4/238
[12] Imam Abul Walid Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, 2/463