Telah
menjadi ijma’ di kalangan para ulama bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan
membawa sab’ah ahruf (tujuh huruf) berdasarkan hadist-hadist sahih dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka berbeda pendapat
mengenai makna sab’ah ahruf tersebut. Berikut ini uraian mengenai
masalah tersebut serta perbedaan antara ahruf dan qiroat.
Definisi Ahrufus Sab’ah
Kata ahruf adalah bentuk jamak
(plural) dari kata harf (huruf) yang secara bahasa berarti ujung,
pinggir, puncak atau perbatasan. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan di
antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada pada harf.”
(QS. Al-Hajj: 11) Yaitu berada di tepi atau batas terluar keyakinan,
maksudnya adalah berada dalam keragu-raguan. Jika mendapatkan kesenangan
mereka tetap beriman, namun jika mendapatkan kesusahan mereka kembali
kepada kekafiran. (Tafsir Ath-Thobari)
Adapun terkait hadits-hadits tentang
tujuh ahruf, para ulama berbeda pendapat mengenai apa sebenarnya yang
dimaksud dengan kata “ahruf” tersebut. Sebagian ulama menafsirkannya dengan logat (dialek bahasa).
Jadi, maknanya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh logat di antara
logat-logat kabilah Arab. Ini adalah pendapat Al-Fairuzabadi (penulis
kamus Al-Muhith).
Ulama lain menafsirkan kata ahruf dengan ragam bacaan.
Jadi, Al-Qur’an mengakomodir tujuh ragam bacaan di dalamnya. Namun
bukan berarti setiap kata atau ayat dibaca dengan tujuh ragam bacaan.
Akan tetapi, seluruh perbedaan yang terdapat dalam tatacara membaca
Al-Qur’an itu tidak keluar dari tujuh ragam bacaan tersebut. Misalnya
kata “maliki yaumiddin” (QS. Al-Fatihah: 4), telah diriwayatkan bahwa
kata itu memiliki tujuh hingga sepuluh ragam bacaan, begitu juga kata
“wa ‘abadat thoghut” (QS. Al-Maidah: 60) juga diriwayatkan memiliki
ragam bacaan sampai dua puluh dua. Bahkan kata “uff” diriwayatkan
memiliki ragam bacaan sampai tiga puluh tujuh ragam. Akan tetapi, semua
ragam bacaan itu tidak keluar dari tujuh ahruf yang dimaksud dalam
hadits-hadits nabawi. Semua itu menunjukkan bahwa makna diturunkan
dengan tujuh ahruf adalah dengan mengakomodir tujuh ragam bacaan.
Sebanyak apa pun cara membaca suatu kata dalam ayat tertentu, tidak akan
keluar dari batas tujuh ragam bacaan ini.
Lalu, apa saja yang termasuk tujuh
ragam bacaan tersebut? Apakah kata “tujuh” dalam hadits itu menunjukkan
jumlah (yaitu angka yang berada di antara “enam” dan “delapan”), atau
menunjukkan makna banyak?
Salah seorang ulama Al-Azhar, Syaikh
Muhammad Abdul ’Azhim Al-Zarqani (w. 1367 H) menjelaskan masalah ini
secara panjang lebar dalam kitabnya, Manahil Al-Irfan fie Ulum
Al-Qur’an. Beliau menyebutkan tiga pendapat yang paling kuat dalam
perbedaan pendapat ini lalu mengunggulkan salah satunya, yaitu pendapat
Imam Al-Razi. Menurut beliau, kata “tujuh” dalam hadits nabawi
menunjukkan jumlah, yaitu angka antara enam dan delapan, bukan
menunjukkan makna yang banyak.
Adapun ketujuh ragam bacaan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, ragam penyebutan kata benda (ism)
yaitu dalam bentuk tunggal (mufrad), ganda (mutsanna) dan plural
(jamak), atau pun dalam bentuk muzakkar (laki-laki) dan muannats
(perempuan). Misalnya dalam ayat yang berbunyi:
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS. Al-Ma’aarij: 32)
Dalam riwayat lain, kata (لِأَمَانَاتِهِمْ) dibaca (لِأَمَانَتِهِمْ) tanpa memanjangkan huruf nun yaitu dalam bentuk tunggal dari kata “amanah”.
Kedua, ragam tashrif al-af’al (tenses) dari bentuk madhi (past), mudhari’ (present) dan amr (perintah). Misalnya dalam ayat yang berbunyi:
فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا
Maka mereka berkata: "Ya Rabb kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami". (QS. Saba : 19)
Dalam riwayat lain, kata “rabbana” (رَبَّنَا) yang berupa munada dibaca dengan mendhammahkan huruf ba’ menjadi “rabbuna” (رَبُّنَا) yang berupa fa’il, kemudian kata “baa’id” (بَاعِدْ) yang berupa kata perintah dibaca dengan men-tasydidkan huruf ‘ain serta memfathahkannya bersama huruf dal menjadi “ba’ada” (بَعَّدَ) yaitu berupa kata kerja masa lampau (past).
Ketiga, ragam I’rab. Misalnya adalah ayat berikut:
وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ
dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan (QS. Al-Baqarah: 282)
Dalam riwayat lain, kata (يُضَارَّ) dibaca dengan mendhammahkan huruf ra’ (يُضَارُّ).
Dalam bacaan pertama (dengan memfathahkan ra’), maka I’rab huruf lam
adalah nahiyah, sedangkan dalam bacaan kedua, huruf lam dii’rabkan
dengan lam nafiyah.
Keempat, ragam penambahan maupun pengurangan. Contohnya adalah ayat berikut:
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى
dan penciptaan laki-laki dan perempuan, (QS. Al-Lail: 3)
Dalam riwayat lain, dibaca seperti di bawah ini:
وَالذَّكَرَ وَالْأُنْثَى
Yaitu tanpa kata (مَا خَلَقَ)
Kelima, ragam taqdim (mengawalkan) maupun ta’khir (mengakhirkan). Misalnya ayat berikut:
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ
Dan datanglah sakaratul maut dengan haq. (QS. Qaaf: 19)
Dibaca:
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْحَقِّ بِالْمَوْتِ
Dan datanglah sakaratul haq dengan maut. (QS. Qaaf: 19)
Keenam, ragam ibdal. Misalnya ayat berikut:
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا
dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali (QS. Al-Baqarah: 259)
Dengan huruf zay, dibaca:
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِرُهَا
Dengan huruf ra’ pada kata (نُنْشِرُهَا).
Ketujuh, ragam logat,
yaitu tata cara membaca kata tertentu berdasarkan logat Arab seperti
fathah, imalah, taqlil dan sebagainya. Misalnya ayat berikut:
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? (QS. Thaha: 9)
“Ataaka” (dengan fathah), dibaca
“ateeka” (dengan imalah), begitu juga “musa” dibaca “muse” (dengan huruf
e seperti dalam kata “enak”)
Demikianlah penjelasan mengenai makna
ahrufus sab’ah atau tujuh ragam bacaan yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Seluruh riwayat tentang tata cara membaca kata tertentu dalam Al-Qur’an
tidak akan keluar dari tujuh bentuk di atas.
Qiroatus Sab’i (Bacaan Tujuh)
Qiroat adalah bentuk jamak (plural)
dari kata qiroah yang berarti bacaan (tilawah).[1] Adapun secara
istilah, qiroat adalah ilmu tentang tata cara membaca lafal-lafal dalam
Al-Qur’an beserta perbedaannya dengan merujuk kepada para penukilnya.
Qiroatus sab’ adalah tata cara membaca
Al-Quran berdasarkan nukilan tujuh qurra’ ternama yaitu Nafi, Ibn
Katsir, Abu Amr, Ibn Amir, ‘Ashim, Hamzah dan Al-Kisai.
Rukun-Rukun Qiroat Sahihah
Qiroat Sahihah adalah qiroat yang
memenuhi rukun-rukunnya sehingga wajib diterima dan tidak boleh ditolak.
Rukun-rukun itu ada tiga:
1. Sesuai dengan kaidah-kaidah tata Bahasa Arab meskipun satu wajh.
2. Sesuai dengan rasm ustmani, meskipun secara ihtimal.
3. Memiliki sanad yang mutawatir.
Contoh qiroat yang sahihah adalah kata
maliki (dengan mim pendek) dan maaliki (dengan mim panjang)
dalam surat Al-Fatihah. Bacaan pertama (maliki) sesuai dengan kaidah
Bahasa Arab yaitu berupa ism majrur ma’thuf ‘ala rabb (kata yang
dijerkan karena terpengaruh kata sebelumnya yaitu rabb) yang berarti
“raja”, sesuai dengan rasm utsmani secara lafzhi yang memuat huruf
mim-lam-kaf dan memiliki sanad yang sahih sampai Imam ‘Ashim dan
Al-Kisai. Demikian pula bacaan kedua (maaliki) sesuai kaidah Bahasa
Arab, yang berarti “pemilik”, sesuai rasm ustmani secara ihtimal
(taqdiri) yaitu ditakdirkan ada huruf alif setelah mim dan memiliki
sanad yang sahih pula sampai jumhur qurra’.
Ibnul Jazari berkata, “Setiap qiroah
yang sesuai Bahasa Arab –meskipun satu wajh, sesuai salah satu mushaf
Utsmani –meskipun secara ihtimal, dan sahih sanadnya, maka itulah qiroah
sahihah yang tidak boleh ditolak dan tidak dihalalkan mengingkarinya,
bahkan itu termasuk tujuh ahruf yang dengannya Al-Qur’an diturunkan.
Wajib bagi manusia menerimanya, baik yang berasal dari Imam Tujuh
(aimmah sab’ah), Sepuluh (asyarah) maupun selain mereka yang maqbul
(diterima). Apabila hilang salah satu di antara tiga rukun ini, maka
disebut Dhaifah (lemah), Syadzah (ganjil) atau Bathilah (palsu), baik
dari Imam Tujuh maupun dari imam yang lebih senior daripada mereka.
Inilah yang benar menurut para imam peneliti, dari kalangan salaf dan
khalaf.”[2]
Abu Syamah berkata, “Tidak selayaknya
seseorang tertipu dengan setiap qiroah yang dilekatkan pada salah satu
Imam Tujuh lalu menyebutnya sahihah dan begitulah qiroat itu diturunkan,
kecuali jika telah masuk dalam kategori di atas, karena sesungguhnya
qiroah yang dilekatkan kepada setiap salah satu qori dari Imam Tujuh dan
selain mereka terbagi menjadi (dua): mujma’ ‘alaih (yang disepakati)
dan syadz (ganjil), hanya saja ketujuh imam tersebut karena popularitas
mereka dan banyaknya sisi yang sahih dan disepakati dalam qiroah mereka,
hati ini cenderung kepada apa yang mereka nukil daripada apa yang
dinukil oleh selain mereka.”[3]
Menurut Ibnul Jazari, qiroat yang
sahihah berjumlah sepuluh, tujuh di antaranya disepakati ketawaturannya
yaitu sebagaimana disebutkan di atas, sedangkan tiga lainnya masih
diperselisihkan yaitu Abu Ja’far, Yakub dan Khalaf Al-‘Asyir, namun
Ibnul Jazari mengunggulkan pendapat yang menganggapnya mutawatirah.
Adapun selebihnya yang berjumlah empat adalah syadzah, yaitu Al-Hasan
Al-Bashri, Ibn Muhaishin, Yahya Al-Yazidi dan Al-Syanbudzi.
Hubungan Antara Ahruf dan Qiroat
Dari penjelasan di atas, tampak
jelaslah perbedaan antara tujuh ahruf yang disebutkan dalam hadist Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tujuh qiroat yang populer saat ini
serta hubungan antara keduanya.
Hubungan antara ahrufus sab’ah dengan
qiroatus sab’ adalah seperti hubungan antara rumah dengan kamar. Ahruf
ibarat rumah sedangkan qiroat ibarat kamar. Sebanyak apapun qiroat yang
ada, keseluruhannya berada dalam lingkup ahruf. Namun tidak semua ahruf
itu terdapat dalam satu qiroat. Adakalanya huruf tertentu disebutkan
dalam satu qiroat dan tidak disebutkan dalam qiroat lainnya.
Oleh karena itu, tidak benar sangkaan
sebagian orang awam bahwa ahrufus sab’ah adalah qiroatus sab’, sebab
jika yang dimaksud ahruf adalah qiroat, berarti qiroat-qiroat lain di
luar tujuh qiroat tersebut tidak termasuk Al-Quran. Padahal sudah maklum
di kalangan ulama bahwa qiroat yang dianggap sebagai Al-Quran bukan
hanya tujuh itu saja, tapi sepuluh (ditambah qiroat Abu Ja’far, Yakub
dan Khalaf Al-‘Asyir).
Memang ada sebagian ahli fikih yang
mengatakan bahwa qiroat lain di luar qiroatus sab’ tidak boleh dibaca di
dalam shalat karena ketawaturannya masih diperselisihkan, namun
pendapat ini adalah sebagai langkah kehati-hatian saja dan supaya orang
awam tidak kebingungan dengan bacaan-bacaan yang masih asing di telinga
mereka sehingga dapat menimbulkan fitnah (kekacauan).
Di samping itu, pemilihan tujuh nama
dalam qiroatus sab’ bukanlah berdasarkan tawqifi (perintah) dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan berdasarkan ijtihad yang
dilakukan oleh ulama qiroat. Kemudian, para ulama juga berbeda pendapat
dalam menentukan ketujuh qiroat tersebut. Misalnya, sebagian ulama
memasukkan nama Abu Ja’far ke dalam qiroatus sab’, sebagian lain tidak.
Jika benar yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
tujuh ahruf adalah tujuh qiroat (berdasarkan nama-nama orang), tentu
perbedaan semacam ini tidak layak terjadi, sebab perbedaan ini akan
menyebabkan penolakan terhadap qiroat yang tidak dimasukkan dalam
qiroatus sab’.
Adapun mengenai penentuan tujuh ahruf
sebagaimana disebutkan di atas, semua itu didapatkan dari proses
penelitian menyeluruh (istiqra’ tamm) dari semua qiroat yang ada.
Wallahu a’lamu bish showab.
[1] Al-Qamus Al-Muhith; Al-Mu’jamul Wasith materi: q-r-a.
[2] An-Nasyr fil Qiroatil ‘Asyr, Muhammad Ibnul Jazari, 1/9, cet. Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra.
[3] Ibid.
|