Belajar
dan menghafal al-Quran selama ini identik dengan aktifitas para santri yang
sedang bergelut dengan pelajaran ilmu-ilmu keislaman di pondok pesantren,
sementara para pelajar dan mahasiswa lebih sering dikaitkan dengan aktifitas
belajar ilmu-ilmu umum dan teknologi modern. Mungkin terbilang langka mahasiswa
hafal al-Quran ataupun dosen hafal al-Quran. Padahal kalau mau berkaca pada
sejarah ilmuan-ilmuan muslim yang fenomenal dalam bidang filsafat dan sains
pada abad pertengahan Islam, kita pasti akan mendapatkan segudang contoh
orang-orang yang mumpuni di bidangnya, dan mereka rata-rata hafal dan menguasai
al-Quran. Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ar-Razi dll, mereka adalah sosok ilmuan yang komplit,
rumus-rumus fisika, kimia, astronomi dikuasai, tafsir, hadis, fiqh juga
dipahami secara mendalam.
Apa
rahasianya? Ternyata memang saat itu ada tradisi yang kuat bahwa hafal dan
faham al-Quran itu merupakan “harga mati” (tidak boleh ditawar) sebelum mereka
beranjak untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Hal ini tercermin dalam tulisan
Imam An-Nawawi dalam kitabnya “Al-Majmu”:
وَيَنْبَغِىْ أَنْ يَبْدَأ مِنْ دُرُوْسِهِ عَلَى المَشَايِخِ: وَفِي
الحِفْظِ وَالتِّكْرَارِ وَالمُطَالَعَةِ بِالْأَهَمِّ فَالْأهَمُّ: وَأوَّلُ مَا يَبْتَدِئُ
بِهِ حِفْظُ الْقُرْآنِ الْعَزِيْزِ فَهُوَ أَهَمُّ العُلُوْمِ وَكَانَ السَّلَفُ لاَ
يَعْلَمُوْنَ الْحَدِيْثَ وَالفِقْهَ إلاَّ لِمَنْ حَفِظَ الْقُرْآنَ
“ Hal Pertama ( yang harus diperhatikan oleh
seorang penuntut ilmu ) adalah menghafal Al Quran, karena ia adalah ilmu yang
terpenting, bahkan para ulama salaf tidak akan mengajarkan hadis dan fiqh
kecuali bagi siapa yang telah hafal Al Quran. “ Imam Nawawi, Al Majmu’,(
Beirut, Dar Al Fikri, 1996 ) Cet. Pertama, Juz : I, hal : 66
Dan
menurut pengamatan penulis, sejumlah mahasiswa yang menghafal al-Quran ataupun
yang telah hafal, memiliki tingkat kecerdasan dan kreatifitas lebih dibanding
lainnya. Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang,
Bapak Prof. Dr. Imam Suprayogo, dalam acara wisuda 2008 pernah menyampaikan
bahwa dalam beberapa tahun terakhir peraih predikat mahasiswa terbaik selalu
diraih oleh mahasiswa yang hafal al-Quran. Hal yang sama juga dibuktikan oleh
keluarga Bapak Mutammimul Ula. Kesepuluh putra putrinya yang sedang menghafal
al-Quran itu rata-rata menjadi pelajar dan mahasiswa terbaik di sekolah mereka
masing-masing.
Oleh
karena itu tidak heran bila ada testimoni yang mengejutkan dari Dr. Abdul Daim
al-Kaheel dari Kuwait. Beliau menulis dalam Artikel yang berjudul: Asrar
al-Ilaj bi istima’ ila al-Quran dalam situs pribadinya: www.kaheel7.com,
sebagai berikut:
وَيُمْكِنُنِيْ أنْ أُخْبِرَكَ عَزِيْزِيْ القَارِئُ أنَّ الْاِسْتِمَاعَ
إلىَ الْقُرْآنِ بِشَكْلٍ مُسْتَمِرٍّ يُؤَدِّيْ إلىَ زِيَادَةِ قُدْرَةِ الْإِنْسَانِ
عَلَى الْإِبْدَاعِ، وَهَذَا مَا حَدَثَ مَعِيَ، فَقَبْلَ حِفْظِ الْقُرْآنِ أَذْكُرُ
أنَّنِيْ كُنْتُ لاَ أُجِيْدُ كِتَابَةَ جُمْلَةٍ بِشَكْلٍ صَحِيْحٍ، بَيْنَمَا الآنَ
أقُوْمُ بِكِتَابَةِ بَحْثٍ عِلْمِيٍ خِلاَلَ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ فَقَطْ
Bisa
saya informasikan pada para pembaca yang terhormat bahwa mendengarkan ayat
al-Quran secara kontinyu akan menambah kemampuan berinovasi, sebagaimana yang
terjadi pada diri saya. Sebelum hafal al-Quran, saya masih ingat, saya
kesulitan menulis satu kalimat dengan baik dan benar, sementara sekarang saya
mampu menulis karya ilmiah hanya dalam kurun waktu satu sampai dua hari saja.
Untuk
itu, kehadiran artikel ini dirasa penting untuk memotivasi dan mengarahkan
mahasiwa yang belum atau sedang menghafalkan al-Quran agar mereka bergairah
untuk menghafal dan harapannya, mereka kelak menjadi generasi Islam yang unggul
dan mumpuni, sebagai “reinkarnasi” dari Al-Ghazali, Ar-Razi, Ibnu Miskawaih
dll. Salah satu tahapan utama dan pertama adalah menjadikan para mahasiswa
muslim mau menghafal dan memahami al-Quran.
Berikut
ini motivasi dan alasan-alasan ringan, realistis, praktis, tentang mengapa
al-Quran itu penting untuk dihafal oleh mahasiswa.
1. Otak, semangat, dan kesempatan Anda sekarang
berada di masa keemasan
Kalau
Anda seorang mahasiswa, pasti usia Anda masih dalam kisaran 18-24 tahun. Usia
tersebut masuk dalam kategori usia subur dan produktif (golden age) dalam
mencari ilmu, termasuk menghafal. Terkait ini dengan usia ini, Syekh Alwi
al-Haddad –dalam bukunya “Sabilul Iddikar” (matan kitab An-Nashoih ad-diniyyah)
mengatakan:
وَأعْجَزَهُ الْفَخَارُ فَلاَ فَخَارَ إذَا بَلَغَ الْفَتَى عِشْرِيْنَ عَاماً
فَلا سُدْتَ ماَ عِشْتَ مِنْ بَعْدِهِنَّهْ إذَا لَمْ تَسُدْ في لَيَالي الشَّبَابْ
Ketika
usia remaja menginjak 20 tahun dan tidak memiliki kebanggaan, maka tidak akan
muncul kebanggaan lagi
Ketika
engkau tidak mampu menguasai masa remaja, maka engkau tidak bisa menguasainya
setelah itu selama hidupnya.
Dengan
kata lain, ”hari ini” bagi seorang remaja adalah miniatur kesuksesan di masa
yang akan datang. Bila ”hari ini” dalam diri seorang remaja telah tumbuh benih-benih
kompetensi, integritas, kepemimpinan, etos kerja tinggi, kemungkinan besar 10
tahun atau 15 tahun yang akan datang, sudah menjadi orang sukses sesuai dengan
yang dia kerjakan sekarang.
2.
Bersyukurlah, tidak banyak orang yang bisa baca al-Quran
Mensyukuri
anugerah Allah adalah sebuah keniscayaan manusia sebagai hamba Allah. Allah
memberikan anugerah kepada hambanya sesuai takaran takdir yang dibarengi dengan
ikhtiar maksimal. Oleh karenanya, kadar karunia yang Allah berikan kepada
hambanya berbeda-beda satu sama lain. Allah berfirman (QS. An-Nahl:71):
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
Dan
Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki,
Rizki
itu bisa berupa harta, anak, kesehatan, ilmu dan persaudaraan. Kalau anda hari
ini kemampuan membaca ayat-ayat al-Quran dengan baik, syukuri itu sebagai
bagian dari rizki Allah. Tidak banyak orang yang bisa membaca al-Quran, hanya
orang pilihanlah yang diberi kemampuan itu.
Nabi
bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
Barang
siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka dia memeiliki pemahaman
dalam agama
Pengalaman
saya (penulis) mengajar matakuliah PAI (pendidikan Agama Islam) di beberapa
kampus di kota Malang, rata-rata 80% dari mereka belum bisa baca al-Quran
padahal usia mereka berkisar 18-20 tahun. Belum lagi kemampuan baca al-Quran
masyarakat umum non mahasiswa, tentu lebih banyak lagi. Jika kita tergolong
orang yang bisa baca al-Quran, maka bersyukurlah dengan cara yang lebih
produktif. Adakalanya dengan memperbanyak bacaan al-Quran, meningkatkan
pemahaman kandungannya atau meneruskannya ke jenjang tahfidz (menghafalkan).
Mungkin
tidak akan bermanfaat apa-apa, apabila kemampuan baca al-Quran yang dimiliki
itu tidak diamalkan secara istiqamah. Sebagaimana pisau, ia tidak akan berarti
apa-apa bila tidak digunakan untuk keperluan memotong. Allah memberikan ilmu
hakikatnya bukanlah sebagai tujuan (goal) tapi semata alat (medium) untuk
sampai pada tujuan. Sedang tujuan akhirnya adalah pengamalan serta pengajaran
al-Quran itu sendiri.
3.
Betapa banyak orang yang merindukan untuk menjadi penghafal al-Quran
Saya
banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Islam, akademisi yang ada di kota Malang.
Mereka sekarang sudah jadi orang hebat, dihormati, memiliki penghasilan tinggi.
Di antara mereka ada yang bercerita pada saya: ”mas, saya sampai sekarang ini
masih mendambakan untuk bisa hafal Al-Quran, tapi pada usia setua ini apa masih
bisa? Bahkan, salah seorang dosen saya di S3 UIN Maliki Malang, dengan usia di
atas 50 tahun, mengatakan: “saya
sekarang menghafalkan al-Quran, berapapun dapatnya tidak masalah, sebab Allah
menghargai proses bukan hasil. Cita-cita saya sebelum meninnggal, kalau bisa
semua ayat al-Quran sudah pernah dihafal agar memori otak yang Allah ciptakan
ini pernah terisi dengan file-file
al-Quran.” Bukankah otak atau hati yang berisi al-Quran tidak akan
disiksa oleh Allah? Sebagaimana sabda Rasulullah:
عن أبي أمامة : إنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ وَلَا
يَغُرَّنَّكُمْ هَذِهِ الْمَصَاحِفَ الْمُعَلَّقَةَ فَإِنَّ اللهَ لَنْ يُعَذِّبَ قَلْبًا
وَعَى الْقُرْآنَ (رواه الدارمي)
Bacalah
al-Quran, jangan sekali engkau tertipu dengan mushaf yang tergantung ini,
karena Allah tidak akan menyiksa hati yang berisi al-Quran (HR. Ad-Darimi)
Demikian
juga salah seorang pembantu rektor di Universitas Negeri Malang, secara
implisit bertanya hal yang hampir sama pada saya, yaitu tentang tata cara
menghafal dan menjaga al-Quran di usia dewasa. Dua tahun yang lalu, saya
mengikuti acara khataman di rumah P. Asrukin (pegawai Perpustakaan UM), di sana
bertemu orang “sepuh” dari Kepanjen Malang yang sedang menghafal al-Quran sejak
usia 55 tahun, waktu itu baru bisa menghafal 25 juz. Di Pesantren Darul Quran
Singosari Malang, juga pernah kedatangan santriwati berusia 50-an tahun dari
daerah Tanggul kota Jember. Teman saya, seorang ibu dua anak masih menyempatkan
diri setoran hafalan al-Quran seminggu sekali di Pesantren Nurul Ulum
Kebonagung Malang. Mungkin mereka yang merindukan menjadi penghafal al-Quran
tersebut sudah pernah mencoba tapi gagal, atau mungkin karena kesibukannya
tidak sempat menghafal. Jadi, kalau hari ini Anda menghafal, berarti Anda telah
melakukan sesuatu yang banyak dirindukan orang lain. Kalau mereka baru
bermimpi, Anda sudah melakukannya, berbahagialah!
4.
Tidak banyak orang yang punya niat dan mulai menghafal
Sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa kemampuan baca al-Quran yang sudah ada selama ini
seharusnya ditingkatkan, sebagai ungkapan rasa syukur pada Allah. Demikian
juga, bila kita hari ini sudah punya niat untuk menghafal dan sudah mulai
menghafal, maka bersyukurlah, sebab tidak banyak orang yang mendeklarasikan
diri untuk berkomitmen menghafal (nawaitu) dan mulai melakukannya.
Rasa
syukur itu semestinya dimanifestasikan secara konkrit dalam bentuk upaya
maksimal meneruskan hafalan itu hingga paripurna (tuntas). Ibarat biji tanaman,
setelah ditancapkan ke dalam tanah, ia harus kontinyu disiram dan dipupuk
sampai tumbuh dan berkembang subur lalu berbuah.
5.
Tidakkah kita malu dengan anak balita yang hafal al-Quran
Belum
lama ini di situs Youtube terpampang seorang anak balita brilian yang membaca
al-Quran bil ghaib. Dialah Abdurrahman Farih dari Al-Jazair (yang saat direkam
baru berusia tiga tahun). Siapakah orang tua yang tidak bangga memiliki anak
sesholih dan secerdas dia. Di Indonesia, orang tua yang anaknya terjaring dalam
DACIL (Audisi Dai Cilik) saja bangganya bukan kepalang. Hal yang perlu menjadi
catatan kita, dalam usia semuda itu si Farih telah memulai dan melaksanakan
hafalan hingga tuntas.
Bagaimana
dengan Anda? Sudah berapa usia Anda? Bila hari ini usia Anda sudah di atas 18
tahun dan belum nawaitu untuk menghafal atau belum tuntas dalam menghafal,
patutlah Farih menjadi ”cambuk”, agar anda merasa malu dan tergerak untuk
memulai. Kapan lagi memulai, jangan pernah menunda sebuah niat suci. Motivasi
tidak ada jaminan datang dua kali. Bisa jadi, niat yang pelaksanaannya tertunda
akan menguap dan sirna selamanya.
Jangan
putus asa bila di usia sekarang Anda belum sukses, masih ada beberapa tahun
menuju usia 23 tahun dimana sepanjang itu al-Quran lengkap diturunkan. Atau
mungkin usia Anda sudah di atas 30 tahun, jangan putus asa untuk menghafal
sebab Rasulullah mulai menerima wahyu dan menghafal baru di usia 40 tahun.
Kalau usia anda di usia 55 tahun belum selesai menghafal, jangan putus ada
karena Rasulullah tuntas menerima wahyu di usia 61 tahun.
6.
Tidak inginkah kita membahagiakan orang yang selama ini rela menderita untuk
kita
Setiap
kali terlahir anak manusia, pasti di sana ada orang yang ikut bersuka cita
menyambut kehadiran sang bayi. Siang malam tercurah kasih sayangnya. Dialah
ayah dan ibu kita. Sang anak tumbuh menjadi besar lalu menjadi remaja, tak
pernah lepas dari belaian kasih sayang orang tua terutama ibu. Mereka rela
menderita demi kebahagiaan sang anak. Keringat dan air mata menghiasi
keikhlasan mereka dalam mendidik dan membesarkan putra putrinya.
Mahasiswa
yang sedang studi jauh dari orang tua, terkadang tidak banyak tahu tentang
penderitaan orang tua di rumah, bagaimana mereka membanting tulang, berhutang
rupiah kesana kemari demi kelangsungan studi putra putrinya yang berada di
perantauan, nun jauh di sana. Si anak sering tidak diberitahu tentang suka duka
orangtua yang di rumah, agar tidak tak terganggu konsentrasi mereka. Namun, si
anak mesti merasakan dan peka akan suka duka orang tua tersebut. Harapannya,
dari sana akan muncul empati serta simpati dari anak, untuk kemudian berupaya
untuk memberikan balas budi kepada orang tua kelak di kemudian hari.
Dengan
menghafal al-Quran, kita ingin memanjakan orang tua supaya mereka bisa bangga
dan terhibur. Rata-rata orang tua sudah merasa senang manakala anaknya
berprestasi dan berperilaku baik, tawaddu’, dibanding semata-mata ”pamer
kekayaan”. Paling tidak, dalam bayangan orang tua, ketika mendengar anaknya
hafal al-Quran, kelak pahala baca al-Quran dari anak tak kan pernah putus dan
akan senantiasa menerangi kubur mereka dengan cahaya al-Quran.
Rasulullah
bersabda:
عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ
أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ضَوْؤُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ
فِى بُيُوتِ الدُّنْيَا (رواه أبو داود)
Barang
siapa yang membaca al-Quran dan mengamalkan isinya maka pada hari kiamat kedua
orang tuanya akan diberi mahkota yang cahayanya lebih indah daripada sinar
matahari di dunia.
7.
Begitu indahnya, jika kubur orang tua kita selalu bersinar lantaran al-Quran
yang selalu kita baca
Sebagai
orang beriman, kita meyakini akan adanya siksa kubur dan akherat. Juga kita
meyakini bahwa al-Quran yang kita baca pasti akan sampai pada orang yang telah
meninggal. Cepat atau lambat orang tua kita pasti berpulang ke hadirat ilahi
rabbi. Alangkah indahnya, jika kubur orang tua kita yang sempit dan gelap,
bertaburkan cahaya al-Quran. Orang yang hafal al-Quran secara umum memiliki
intensitas bacaan yang lebih tinggi dibanding dengan yang tidak, sehingga
peluang untuk mendoakan dan mengirimkan pahala pada orang tua, lebih terbuka.
Abu Ja’far meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. Bahwa orang mukmin itu
apabila diletakkan di dalam kuburnya maka kuburnya itu dilapangkan 70 hasta,
ditaburi harum-haruman dan ditutup dengan kain sutera. Apabila ia hafal
sebagian dari Al-Qur’an maka apa yang dihafalnya itu menerangi seluruh
kuburnya, dan apabila ia tidak hafal, maka ia dibuatkan cahaya seperti matahari
di dalam kuburnya. Ia bagaikan pengantin baru yang tidur dan tidak dibangunkan
kecuali oleh isteri yang sangat dicintainya. Kemudian ia bangun dari tidurnya
seakan-akan ia belum puas dari tidurnya itu.
8.
Betapa inginnya kita mendapatkan pendamping yang lidahnya selalu basah dengan
al-Quran
Sayyidina
Ali Karromallahu Wajhah berkata:
عَامِلِ النَّاسَ بِمَا تُحِبُّ أَنْ يُعَامِلُوْكَ بِهِ
Perlakukan
orang lain dengan sesuatu yang kau ingin diperlakukan seperti itu.
Bila
kau ingin dapat hadiah, seringlah memberi hadiah pada orang lain. Sebaliknya
bila kau ingin disakiti oleh orang lain, sakiti dia. Ungkapan tersebut senada
dengan hadis nabi:
وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
(رواه مسلم)
Lakukan
pada orang lain sesuatu yang dia suka diperlakukan seperti itu.
Kecenderungan
banyak orang, mereka ingin memperoleh pasangan hidup yang sempurna
(cantik/tampan, pandai, setia, kaya dsb). Sementara, tidak banyak yang
memperindah dirinya dengan sifat-sifat sempurna semacam itu. Termasuk hal yang
diidamkan oleh mayoritas muslim/muslimah adalah memiliki istri atau suami yang
mahir atau hafal al-Quran. Begitu indah rasanya, apabila dalam keluarga yang
dimotori oleh suami atau istri, ada gema lantunan ayat suci al-Quran yang tak
pernah putus. Dengan demikian, suasana rumah akan terasa sejuk penuh aura
kedamaian dan bertebarkan cahaya qurani.
Rumah
sebagai sebuah lembaga informal untuk mendidik putra putri yang salih shalihah
dan akan sukses, manakala anak-anak meneladani hal-hal baik yang dilakukan
orangtuanya. Dari sini, banyak contoh yang bisa dipaparkan. Keluarga alm. KH.
Amir Singosari Malang, enam anaknya hafal al-Quran, kel. Drs. Mutammimul Ula di
Bekasi, 10 anaknya hafal al-Quran dll.
Hanya
saja, sebaiknya ketergantungan kita dengan orang lain dihilangkan. Daripada
mengharap pasangan kita yang ideal, lebih baik mengidealkan diri kita sendiri.
Daripada bermimpi mendapatkan jodoh penghafal al-Quran yang susah terrealisasi,
lebih baik kita sendiri menjadi penghafal al-Quran, why not? Alih-alih
mengharap dan mencari, kita malah diharap dan dicari orang lain, insyaallah.
9.
Begitu indahnya, jika kita membesarkan anak-anak kita dengan gema dan aura
al-Quran
Mereka
yang hari ini sukses, jadi orang besar, jadi orang baik, pasti mereka dididik
dengan pola asuh yang benar. Mereka pernah kecil, mengalami masa kanak-kanak
yang indah dan menyenangkan. Kita semua juga ingin anak-anak kita hidup
demikian.
Tentu,
dimulai dari orang tuanya. Sapu yang bersih akan dengan mudah membersihkan
tempat kotor. Sapu yang kotor malah mengotori tempat bersih. Orangtua yang
hafal al-Quran berpotensi menciptakan generasi yang hafal al-Quran juga. Di
saat anak-anak masih tidur menjelang tiba waktu Subuh, kita bangunkan mereka
dengan nada-nada al-Quran. Konon, alam bawah sadar anak (otak pada gelombang
teta) akan terus merekam suara-suara luar meski mereka terlelap tidur.
Meninabobokkan bayi, sembari
memperdengarkan alunan kalam ilahi, sungguh memberikan energi positif
yang luar biasa.
Demikian
juga, ketika mengantar dan menjemput anak sekolah, tak henti-hentinya orang tua
memandu hafalan anak. Lebih-lebih lagi, waktu anak-anak sakit selalu dibacakan
doa-doa dan ayat al-Quran untuk memohon kesembuhan mereka. Berkunjung ke makam
famili dan orang sholih, kita ajari mereka mendoakan dan membacakan al-Quran
serta pada even-even penting lainnya.
10.
Suatu ketika, kita pasti menjadi dewasa lalu tua, apa kegiatan kita di
saat-saat menyongsong ajal tersebut?
Sudah
bukan rahasia lagi, bahwa masa tua adalah masa dimana orang rentan terhinggap
banyak penyakit, semua organ tubuh sudah berkurang fungsi dan powernya. Mata
sudah mulai kabur, pendengaran juga tidak setajam dahulu. Mungkin pada usia
itu, kita sudah pensiun dari pekerjaan, rumah sudah bagus, harta melimpah,
sehingga tidak lagi membutuhkan aktivitas kerja lagi. Dalam kondisi seperti
ini, apakah Anda betah berjam-jam duduk di depan televisi saja atau hanya
jalan-jalan ringan mengelilingi rumah, meski harta melimpah. Lalu mana
aktivitas ibadahnya?
Seusai
shalat wajib di masjid tentu berdzikir lalu pulang ke rumah begitu seterusnya.
Mau baca al-Quran mata tidak lagi jelas, apalagi menghafal. Relakah masa tua
kita hanya seperti itu? Tidakkah kita ingin setiap hembusan nafas yang keluar
dari mulut kita adalah untaian kalimat al-Quran. Setiap detakan jantung
bernilai sepuluh kebaikan lantaran satu huruf al-Quran yang kita baca. Siang
dan malam hari, juz demi juz terdendangkan dengan merdu. Semua itu mustahil
terjadi apabila seseorang tidak hafal al-Quran. Meski mata tak mampu melihat
lekukan huruf-huruf al-Quran, tetapi hati sangat tajam dan pikiran terus
bersinar, mampu menangkap lafadz dan makna al-Quran. Keistiqamahan semacam ini
insyaallah menjamin kita untuk menghembuskan nafas terakhir dengan khusnul
khatimah, amin.
Rasulullah
menganjurkan agar “kepulangan kita” kelak kepada Allah dalam kondisi membawa
al-Quran, beliau bersabda:
إنَّكُمْ لاَ تُرْجَعُوْنَ إلىَ اللهِ بِشَيْءٍ أَفْضَلُ مِمَّا خَرَجَ
مِنْهُ يَعْنِيْ الْقُرْآنَ (رواه الحاكم عن أبي ذر الغفاري)
Sesungguhnya
kalian tidak dikembalikan kepada Allah dengan membawa sesuatu yang lebih utama
dibanding sesuatu yang keluar dari Allah yaitu al-Quran.
11.
Maukah “rapot merah” amal kita “dikatrol” oleh al-Quran?
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا
لأَصْحَابِه (رواه مسلم عن أبي أمامة)
Bacalah
al-Quran, niscaya dia kan datang pada hari kiamat sebagai penolong pembacanya.
Hadis
ini memberikan garansi kepada para pembaca al-Quran atau orang yang mendalami
al-Quran. Garansi tersebut cukup melegakkan kita semua, sebagai hamba Allah
yang penuh salah dan dosa. Di hari ketika harta dan tahta tidak lagi mampu
menyelamatkan kita dari kobaran api neraka.
Anak
dan saudara juga tak kuasa menolong dari dalamnya jurang jahannam, saat itulah
al-Quran datang sebagai syafi’ (penyelamat). Hari itu tak ada yang kita
butuhkan melainkan rahmat Allah dan amal baik yang tulus kita lakukan. Allah
memberikan 10 tiket surga kepada penghafal al-Quran yang juga pengamal isinya,
untuk dibagikan pada keluarganya, sebagaimana sabda Rasulullah:
علي بن أبي طالب قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم مـَنْ قَرَأَ
الْقُرْآنَ وَاسْتَظْهَرَهُ فَأَحَلَّ حَلَالَهُ وَحَرَّمَ حَرَامَهُ أدْخَلَهُ اللهُ
بِهِ الْجَنَّةَ وَشَفَّعَهُ فِيْ عَشْرَةٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ كُلِّهِمْ وَجَبَتْ
لَهُ النَّارُ (رواه الترمذي)
Barang
siapa membaca dan menghafal al-Quran lalu menghukumi halal dan haram berdasar
al-Quran, maka Allah akan memasukkannya ke surga dan memberi hak untuk menolong
10 keluarganya yang telah dipastikan masuk neraka.
12.
Betapa inginnya kita selalu berhujjah dengan al-Quran dalam disiplin ilmu
apapun
Hampir
semua perguruan tinggi Islam di timur tengah mensyaratkan calon mahasiswanya
hafal al-Quran minimal tiga juz untuk jurusan non keislaman dan mahasiswa non
Arab, dan 15 juz untuk jurusan keislaman bagi mahasiswa dari negara-negara
Arab. Persyaratan tersebut didasarkan pada pertimbangan akademis-ilmiyah.
Sebagai calon intelektual muslim, mahasiswa muslim diharapkan mampu
mengkolaborasikan ilmu umum dengan ilmu agama dan mensinergikan ayat
qur’aniyyah dengan ayat kauniyyah.
Faktor
inilah yang menambah tingkat urgensi hafalan. Orang yang hafal sangat
berpotensi untuk paham arti kandungannya. Mereka yang hafal dan paham,
berpotensi memiliki kapasitas dalam melakukan istinbath hukum serta proses
istidlal secara cepat dan akurat.
Al-Quran
menopang disiplin ilmu apapun. Ayat-ayat yang terkait ilmu-ilmu sosial, budaya,
seni, sangat melimpah dalam al-Quran. Kita mendambakkan sosok seperti
al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Sina, mereka jadi orang jenius dan kapabel dalam
bidangnya masing-masing setelah menghafal al-Quran. Al-Quran yang telah terpatri
dalam diri mereka, mampu menginspirasi untuk memunculkan karya monumental
mereka yang abadi hingga kini. Dalam otak dan jiwa mereka seakan terdapat
ensiklopedia besar nan lengkap. Ia siap diartikulasikan kapan saja, di mana
saja dan dalam bidang apapun. Terlebih lagi untuk hal-hal yang bersinggungan
dengan ilmu-ilmu keislaman, seperti fiqh, tafsir, hadis dsb.
Mengamati
sejarah keilmuan para fuqaha, mufassirin, muhadditsin yang populer, hampir
tidak diketemukan dari mereka, orang
yang tidak hafal al-Quran. Bahkan rata-rata mereka hafal al-Quran di
usia anak-anak. Misalnya, Imam Syafii hafal al-Quran di usia 7 tahun.
13.
Betapa sejuknya hati, bila Al-Quran menghiasi setiap kegiatan dalam keseharian
kita
Kesejukan
dan kedamaian hati bisa disebabkan oleh banyak hal. Adakalanya kedamaian hati
muncul karena ketercukupan materi dan keterpenuhan kebutuhan finansial. Bisa
juga kedamaian hati itu datang melalui dzikir dan membaca al-Quran. Sebagaimana
firman Allah: Ingatlah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Artinya,
semakin banyak kita membaca al-Quran, semakin lama pula tingkat kedamaian yang
menyelimuti kita.
Al-Quran
bisa dibaca secara fleksibel kapan saja; pagi, siang, sore, petang, malam,
tengah malam, saat senang, saat susah. Demikian juga, ia bisa dibaca dimana
saja; di atas sajadah, di atas kasur, di atas kendaraan, sambil jalan, sambil
beraktifitas. Fleksibilitas tersebut hanya dapat dilakukan bila yang
bersangkutan hafal al-Quran secara lancar.
Kehadiran
teknologi canggih saat ini sangat membantu meminimalisir kesalahan. Dengan
teknologi audio digital, kita dapat mendengarkan al-Quran secara utuh melalui
piranti MP3 portable yang terhubung dengan earphone mini. Teknologi visual juga
tidak kalah canggih, al-Quran sekarang sudah bisa diinstall dalam perangkat
ponsel, Ipad, Iphone maupun Blackberry. Dengan kata lain, hafalan yang kurang
lancar, bukan sebuah kendala, sebab bisa diatasi dengan perangkat canggih
tersebut.
14.
Yakinlah bahwa Al-Quran akan menolong kita selama kita juga menolong Al-Quran
Al-Quran
adalah kalamullah (firman Allah), sekaligus mukjizat nabi Muhammad terbesar.
Mengikuti pesan-pesan yang terdapat dalam al-Quran hakikatnya adalah taat pada
Allah dan rasulnya. Ikut memelihara al-Quran berarti ikut merealisasikan janji
Allah dalam al-Quran: Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Quran dan kamilah
yang menjaganya.
Dalam
ayat tersebut, terdapat kata “inna” yang berarti kami, padahal yang dimaksud
adalah Allah. Sebagian mufassir mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah
pelibatan manusia dalam rangka penjagaan Allah terhadap al-Quran. Para ulama
sepakat bahwa hukum menghafal al-Quran itu fardlu kifayah. Keputusan hukum
tersebut diantaranya didasarkan pada ayat di atas.
Hal
senada dengan itu, firman Allah: Jika kalian membantu Allah pastilah Allah akan
membantu kalian. Dengan kata lain kalau kalian membantu al-Quran maka al-Quran
akan membantu kalian. Betapa banyak orang yang hidupnya bahagia sejahtera,
lantaran mencurahkan perhatiannya untuk belajar dan mengajarkan al-Quran. Bentuk
perjuangan tertinggi dalam membantu al-Quran adalah menghafalkannya. Untuk itu
yakinlah, setelah kita bersusah payah menghafalkan al-Quran kelak hidup kita
akan ditata langsung oleh Allah.
15.
Tidak banyak, orang yang mendapatkan fasilitas hidup seperti kita. Apa wujud
terima kasih kita?
Rasa
syukur yang mendalam atas sebuah nikmat mampu menginspirasi untuk berbuat lebih
baik. Dengan menyadari karunia Allah berupa kemampuan baca al-Quran atau berupa
rizki yang cukup, seseorang pasti ingin mengungkap rasa syukurnya kepada
pemberi karunia tersebut, yaitu Allah swt. Syukur yang hakiki adalah
mengarahkan karunia tersebut sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Lalu
bagaimana mensyukuri karunianya yang berupa kemampuan baca al-Quran? Sepakat
atau tidak sepakat harus diakui bahwa di sekeliling kita sangat langka orang
yang bisa baca al-Quran dengan baik dan benar. Secara tersirat dapat dipahami
bahwa Allah memang memilih diantara hambanya orang-orang yang dititipi al-Quran. Orang pilihan pastilah orang yang terpercaya.
Orang yang terpercaya pastilah ia orang yang terbaik. Allah berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ
بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ﴿فاطر:٣٢﴾
Kemudian
Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri
dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang amat besar.
Adapun
bentuk rasa syukur tersebut adalah memperbanyak membaca atau menghafalkannya
atau memahami isi kandungannya atau melakukan ketiganya. Orang yang diberikan
kemampuan membaca dengan baik, hakikatnya dia baru diberi media untuk menjadi
orang baik. Sama halnya orang yang diberi kail untuk memancing atau pisau untuk
memotong. Kail dan pisau tersebut oleh si pemberi bukan untuk hiasan. Si
pemberi sebetulnya sedang menanti kapan kail dan pisau tersebut dipakai. Si
pemberi akan merasa puas apabila kedua alat tersebut benar-benar telah dipakai
untuk kebaikan. Demikian juga kemampuan baca al-Quran, ia hanya sebuah media
(wasilah), sementara tujuan diberikannya karunia tersebut adalah dengan membaca
sebanyak-banyaknya, menghafalkannya, dan memahami kandungannya.
16.
Mulailah dari nol, karena ia pengganda setiap bilangan. Mulailah dari niat,
karena ia menjadi penentu setiap sukses.
Banyak
orang mendambakan suatu cita-cita dan memimpikan cita-cita tersebut tergapai
dengan mudah tanpa pengorbanan. Tak terhitung mereka yang kagum dengan para
penghafal al-Quran. Tak terhitung pula mereka berkeinginan untuk menjadi
penghafal al-Quran. Hanya saja tidak banyak dari mereka yang menindaklanjuti
keinginan tersebut dalam bentuk aksi nyata. Terkait dengan fenomena ini Ibn
Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam mengatakan:
كَيْفَ تَخْرِقُ لَكَ الْعَوَائِدُ وَأَنْتَ لَـمْ تَخْرِقْ مِنْ نَفْسِكَ الْعَوَائِدَ
Bagaimana
mungkin engkau mendapatkan keluarbiasaan (khoriqul adah) kalau engkau tidak
mengeluarkan dirimu dari kebiasaan
Setiap
kesuksesan pasti diawali dari sebuah perjuangan dan pengorbanan. Setiap
perjuangan dalam meraih kesuksesan pastilah akan berhadapan dengan sekian
banyak rintangan. Bukankah dalam agama sendiri -menurut al-Quran- terdapat
banyak jalan mendaki (aqabah)? Dan Allah menjanjikan surga bagi orang yang
melewati aqabah terbut.
Bila
Anda sekarang ini memiliki keinginan untuk menghafal al-Quran, syukurilah itu
karena ia adalah obor yang membantu kita melewati gelapnya lorong panjang
menuju taman surgawi yang abadi. Jangan pernah rasa cinta dan motivasi tersebut
redup dan memudar lalu padam. Pelihara obor itu agar lebih terang dan semakin
terang. Obor yang padam akan susah menyala kembali. Obor yang padam tidak dapat
dipastikan kapan ia menyala kembali dan tidak ada jaminan untuk menyala
kembali.
Untuk
itu mulailah dari sekarang, jangan pernah menunda kesempatan emas karena ia
tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya.
Mulailah selalu dengan niat dan komitmen tinggi. Niat laksana angka nol
yang menggandakan jumlah bilangan. Tanpa angka nol, tidak mungkin ada angka
sepuluh, seratus, seribu dan seterusnya. Sebagaimana juga tidak mungkin ada
urutan ke sepuluh tanpa dimulai dari urutan pertama. Artinya untuk mengejar
cita-cita suci, perlu sebuah niat dan komitmen yang mantap, baru setelah itu
memulai tahap I, tahap terendah yang mesti dilalui.
Mustahil,
bila ada orang hafal al-Quran 30 juz secara instan, alias bim salabim, dalam
hitungan hari. Jangan bermimpi berlebihan bahwa Anda bisa hafal al-Quran
melalui jalan ladunni (pemberian langsung dari Allah), sehingga waktu habis
untuk mencari wirid kesana kemari dan mengamalkannya berbulan-bulan, sementara
kegiatan menghafalnya tidak ada sama sekali. Imam Ar-Roghib Assirjani pernah
mengatakan:
مَا لَمْ يَبْذُلْ جُهْدًا فِي حِفْظِهِ فَلاَ يَبْقَى فِي الذَّاكِرَةِ إلاَّ قَلِيْلاً (الراغب السرجاني)
Barang
siapa yang tidak mengerahkan sekuat tenaga untuk menghafal, maka tidak akan
tersisa di otaknya kecuali hanya sedikit.
Saya
bersama rombongan JQH (Jamiyyah Qurro’ wal Huffadz, kini bernama HTQ)
Universitas Islam Negeri Malang tahun 2006 berkunjung ke beberapa pesantren di
daerah Mojokerto dan Jombang. Dalam kunjungan tersebut, kami sempat menanyakan
perihal wirid/doa yang mempercepat hafalan. Tak satupun dari para masyayikh
yang kami kunjungi memberikan ijazah doa/wirid. Sebaliknya mereka justru
mengatakan bahwa doa yang paling mustajab adalah al-Quran itu sendiri. Mereka
lebih menekankan pada para santri yang sedang menghafal untuk fokus hafalan
secara istiqomah dan menjauhi wirid-wirid khusus yang panjang. Pepatah Arab
mengatakan:
بَيْضَةُ الْيَوْمِ خَيْرٌ مِنْ دَجاَجَةِ الْغَدِ
Lebih
baik mengharap telur yang ada di hari ini dari pada mengharap ayam tapi masih
besok adanya
17.
Akankah kita menyerah sebelum pertandingan benar-benar selesai?
Tiap
orang memiliki daya tahan (endurence) dan fokus yang berbeda-beda dalam
menghafal, sehingga tidak jarang para santri itu berhenti di tengah perjalanan
alias belum tuntas 30 juz, kendati banyak juga yang selesai tuntas. Terkadang
ketidaktuntasan tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya lingkungan
menghafal yang kurang kondusif dan lemahnya dukungan keluarga. Bisa juga
masalah muncul dari lemahnya motivasi internal.
Sejak
awal, mestinya santri atau mahasiswa mengidentifikasi kemampuan dirinya. Apakah
dia memiliki daya tahan dan fokus yang kuat? Apa dia juga memiliki motivasi
yang tinggi? Proses identifikasi tersebut dilakukan dengan cara menghafal juz
30 terlebih dahulu. Juz 30 atau yang lebih dikenal dengan juz ‘amma memiliki
karakteristik ayat dan surat yang pendek-pendek. Tentu dengan karakteristik
seperti ini, juz 30 menjadi lebih mudah dihafal dibanding juz-juz lain dalam
al-Quran. Dengan kemudahan tersebut, seorang santri akan mampu meraba sendiri
kemampuan menghafalnya. Kalaupun dia terhenti di tengah jalan, tidak akan
sia-sia. Sebab, suratnya pendek-pendek dan banyak berguna untuk menjadi imam
shalat, minimal efektif untuk dijadikan wirid atau bacaan rutin harian.
Ibarat
bangunan rumah, bangunan yang sudah lengkap; ada dinding, pagar serta atap, ia
akan bertahan lama meski tidak dihuni dan tidak terawat. Demikian juga hafalan.
Ketika seseorang menghafal satu surat secara utuh, biasanya akan awet atau
tahan lama, meski lama tidak dibaca. Resikonya menghafal juz 1 pada tahap awal
akan mudah hilang seandainya terhenti di pertengahan juz.
18.
Dengarlah rintihan orang yang ingin menghafal, namun tidak tercapai
Diakui
ataupun tidak, menghafal al-Quran itu bagi umumnya kaum muslimin maupun
muslimat merupakan naluri. Ia akan muncul dan tenggelam sesuai lingkungan dan
situasi yang melingkupinya. Naluri itu kadang menjelma menjadi sebuah cita-cita
dan harapan, layaknya kekayaan, jabatan dan popularitas. Cita-cita tersebut
akan berubah menjadi menyakitkan manakala tidak tercapai.
Beberapa
teman yang dulu ingin menghafal, rata-rata mereka menyesali kenapa keinginan
tersebut dulu tidak direalisasikan dalam wujud usaha. Lebih-lebih, mereka yang
pernah menghafal dan belum tuntas, atau pernah hafal namun kini pergi entah ke
mana, seumur hidup mereka akan diliputi rintihan dan penyesalan. Mereka seakan
hidup dalam fatamorgana yang tiada henti dan pengandaian yang tak berujung;
seandainya dulu saya begini dan begitu, niscaya saya akan seperti mereka yang
sukses menghafal.
Sebelum
kita merasakan pahitnya penyesalan, mari optimalkan potensi dan maksimalkan
ikhtiyar. Tentu perjuangan di awal itu beratnya luar biasa. Penyesalan selalu
berada di akhir cerita dan tak akan pernah muncul di awalnya. Demikian pula,
indahnya kesuksesan itu hanya bisa dinikmati di akhir masa penantian panjang.
Kata pepatah: berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersusah-susah
dahulu lalu bersenang-senang kemudian.
19.
Jangan tunda, hidup ini selalu dipenuhi dengan kata “ternyata” dan “tiba-tiba”
Waktu
ini kadang menyerupai fatamorgana. Dari jauh kelihatan indah, seakan kita masih
memiliki kesempatan 1000 tahun yang tiap detiknya bisa diisi dengan 1000
aktifitas luar biasa. Namun, ternyata waktu yang kita miliki begitu singkat dan
sesak dengan berbagai kesibukan harian yang teknis. Fatamorgana di atas akan
meninabobokkan setiap orang, terlebih jika ingin melakukan kegiatan besar yang
positif. Itulah ujian tiap orang yang ingin sukses.
Saat
menghafal al-Quran, mahasiswa kadang begitu santai dalam melangkah. Alasan
mereka, nanti saja kalau perkuliahan agak sedikit longgar, tugas kuliah
terselesaikan semua, atau nanti saja kalau liburan panjang datang, akan
menghafal sebanyak-banyaknya bila mungkin akan “bertapa” demi menyelesaikan
hafalan. Sikap “taswif” (menunda-nunda) ini merupakan penyakit menular yang
sangat ganas, serta penyebab utama dari setiap kegagalan menghafal.
Harus
disadari, bahwa waktu kita secara matematis masih terbentang luas, sebenarnya
hanyalah waktu bayangan bukan waktu yang sebenarnya. Misalnya; pada hari Minggu
besok saya tidak ada kegiatan mulai pagi sampai malam sehingga jadwal menghafal
hari Sabtu ini ditunda dulu lantaran agak sibuk. Marilah ditelaah contoh kasus
penundaan di atas. Manusia oleh Allah tidak diberi kemampuan untuk mengetahui
takdir di esok hari. Kita semestinya tidak mengandalkan waktu yang belum muncul
di hari ini. Ada banyak kemungkinan yang akan terjadi di esok hari,
diantaranya:
a.
Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada teman sakit yang butuh pertolongan
kita
b. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba tubuh
kita meriang/sakit
c.
Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada kabar kurang baik dari keluarga yang
membuat kita susah
d.
Pada pagi hari tiba-tiba ingin berolah raga atau main musik
e.
Pada pagi hari, tiba-tiba ingin masak bersama teman atau mencuci baju
f.
Pada siang hari, tiba-tiba ada acara televisi yang sangat bagus
g.
Pada siang hari, tiba-tiba teman akrab lama datang
h.
Pada siang hari, tiba-tiba ingin posting facebook atau menjawab email
i.
Pada sore hari, tiba-tiba ingin bersih-bersih ruangan dan taman
j.
Pada sore hari, tiba-tiba HP/komputer kita bermasalah yang butuh penanganan segera
k.
Pada sore hari, tiba-tiba motor kita ditilang oleh polisi
l.
Pada sore hari, tiba-tiba tetangga kita meninggal dunia
m.
Pada sore hari tiba-tiba ingin cari makan yang enak
n.
Pada sore hari tiba-tiba muncul rasa malas atas terkantuk ingin tidur
Dan
masih ada ratusan kemungkinan lain yang menggagalkan kita untuk melakukan
kegiatan di hari itu. Masihkah kita suka menunda?
20.
Mimpikan kebaikan agar jadi kenyataan, nyatakan kebaikan agar jadi mimpi indah
Hampir
setiap orang memiliki ”mimpi” dan cita-cita untuk menjadi sesuatu atau memiliki
sesuatu. Namun, kondisi fisik, psikologis, sosial kerapkali menenggelamkan
mimpi itu. Sebetulnya orang yang memiliki ”mimpi sukses” itu tergolong orang
yang hebat, sebab tidak semua orang punya mimpi. Mimpi itu termasuk ingin hafal
al-Quran. Anugerah Allah yang berupa ”mimpi untuk hafal al-Quran” jangan pernah
disia-siakan. Lakukan penguatan ”mimpi” tersebut agar menjadi motivasi kuat
dengan banyak membaca kisah-kisah para pengahafal al-Quran serta hikmah-hikmah
menghafal.
Dengan
demikian, motivasi menjadi kuat dan bisa menggerakkan anggota tubuh untuk
meralisasikannya menjadi kenyataan. Disini diperlukan metode dan strategi,
supaya mimpi itu tidak dibelokkan menjadi angan-angan hampa belaka. Yakinlah
setelah mimpi itu terwujud, tentu hari-hari kita begitu indah bersama al-Quran
bagaikan mimpi yang membuai angan dan memanjakan khayalan.
21.
Awali dari diri sendiri, kalau kita mendambakan sebuah keluarga “Qur’ani”
Kita
tentu tergiur dengan kesuksesan keluarga bapak Mutammimul Ula yang kesepuluh
anaknya hafal al-Quran, atau ingin meniru Abdurrahman Farih dan Husein Thababai
yang mana di usia balita mereka sudah hafal al-Quran. Kita juga ingin rumah
selalu bergaung suara al-Quran dari mulut anak-anak.
Hanya
saja, semua harus dimulai dari diri kita (suami, istri, bapak, ibu). Bagaimana
mungkin anak-anak akan mengikuti jejak orangtuanya, sementara orangtua tak
memberi contoh pada mereka. Orangtua yang hafal al-Quran akan dengan mudah
mengenalkan dan membiasakan hafalan pada putra-putrinya di manapun mereka
berada. Mungkin setiap berangkat sekolah, anak dituntun untuk menghafal
surat-surat pendek. Pasti tanpa terasa dalam kurun waktu satu tahun saja, anak
akan hafal lebih dari satu juz. Hal ini sulit terrealisasi bila orangtua belum
mulai menghafal sejak sekarang. Memang, orangtua yang punya hafalan itu
mendatangkan efek domino yang luas, bukan semata untuk diri sendiri, tetapi
juga untuk orang lain terutama keluarga dekatnya.
(Materi
disampaikan dalam acara “Ta’aruf Qurani” yang diselenggarakan oleh Hai’ah
Tahfidz al-Quran Universitas Islam Negeri Maulana Malik ibrahim (UIN Maliki)
Malang, tanggal 30 Oktober 2011, di Aula rektorat lt. 3).
Sumber :
http://cahayaqurani.wordpress.com/2011/10/27/21-vitamin-untuk-meningkatkan-stamina-dalam-menghafal-al-quran/