Dzulhijjah adalah salah satu bulan
mulia dalam kalender Islam. Banyak umat Islam yang menantikan kedatangannya, khususnya
para calon jamaah haji, juga tentunya para peternak hewan qurban. Berikut ini
adalah beberapa keutamaan bulan Dzulhijjah yang mesti kita ketahui dan semoga
bisa memancing kita untuk melakukan banyak amal kebaikan pada bulan tersebut.
1. Dzulhijah termasuk Asyhurul
Hurum
Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah
Ta’ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan haram). Maksudnya, saat itu
manusia dilarang (diharamkan) untuk berperang, kecuali dalam keadaan membela
diri dan terdesak.[1]
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram …” (QS.
Al Maidah (5): 2)
Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan-bulan
haram, yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul
hurum (bulan-bulan haram) adalahDzulqa’dah, Dzulhijjah, Rajab, dan Muharam.
(Sunan At Tirmidzi No. 1512)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السنة
اثنا عشر شهراً، منها أربعةٌ حرمٌ: ثلاثٌ متوالياتٌ ذو القعدة، وذو الحجة والمحرم،
ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان”.
“Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga
bulan berurutan yaitu adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam, dan (satu
bulan sendiri yaitu) Rajab Mudhar yang berada di antara bulan Jumadil (akhir)
dan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025 dan Muslim no. 3179)
Dalam syarah (penjelasan) kitab Shahih Bukhari dan Muslim, yakni
Fathul Bari karya Ibnu Hajar dan Al Minhaj karya Imam An Nawawi, diterangkan,
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyandarkan bulan Rajab kepada kabilah
Mudhar di dalam banyak hadits adalah untuk memperjelas. Para ulama mengatakan,
dahulu kala kabilah Mudhar dan kabilah Rabi’ah berbeda dalam menyebut bulan
Rajab. Menurut kabilah Mudhar, bulan Rajab adalah bulan yang terletak di antara
Jumadil akhir dan Sya’ban, sementara menurut kabilah Rabi’ah, bulan Rajab itu
disebut dengan bulan Ramadhan.
2. Anjuran Banyak Ibadah Pada
Sepuluh Hari Pertama (Tanggal 1-10 Dzulhijjah)
Sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah memiliki keutamaan
yang besar. Disebutkan dalam Al Quran:
وَالْفَجْرِ
(1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2)
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr (89): 1-2)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan maknanya:
والليالي
العشر: المراد بها عشر ذي الحجة. كما قاله ابن عباس، وابن الزبير، ومجاهد، وغير
واحد من السلف والخلف.
(Dan demi malam yang sepuluh): maksudnya adalah sepuluh hari
pada Dzulhijjah. Sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, Ibnu Az Zubeir, Mujahid, dan
lebih dari satu kalangan salaf dan khalaf.[2]
Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah sepuluh hari awal
Muharram, ada juga ulama yang memaknai sepuluh hari awal Ramadhan. Namun yang
benar adalah pendapat yang pertama,[3] yakni sepuluh awal bulan Dzulhijjah.
Keutamaannya pun juga disebutkan dalam As Sunnah. Dari Ibnu
Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
مَا
الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ
قَالَ وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ
فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيءٍ
“Tidak ada amal yang lebih afdhal dibanding amal pada hari-hari
ini.” Mereka bertanya: “Tidak juga jihad?” Beliau menjawab: “Tidak pula oleh
jihad, kecuali seseorang yang keluar untuk mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu
dia tidak kembali dengan sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari No. 969)
Imam Ibnu Katsir mengatakan maksud dari “pada hari-hari ini”
adalah sepuluh hari Dzulhijjah.[4]
Maka, amal-amal shalih apa pun bisa kita lakukan antara tanggal
satu hingga sepuluh Dzulhijjah; sedekah, shalat sunnah, shaum –kecuali pada
tanggal sepuluh Dzulhijjah- , silaturrahim, dakwah, jihad, dan lainnya.
Amal-amal ini pada hari-hari itu dinilai lebih afdhal dibanding jihad, apalagi
berjihad pada hari-hari itu, tentu memiliki keutamaan lebih dibanding jihad
pada selain hari-hari itu.
Untuk berpuasa pada sepuluh hari ini, ada dalil khusus
sebagaimana diriwayatkan oleh Hafshah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
أَرْبَعٌ
لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ
عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ
قَبْلَ الْغَدَاةِ
Ada empat hal yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum
pernah meninggalkannya: puasa ‘Asyura, Al ‘Asyr (puasa 10 hari Dzulhijjah),
puasa tiga hari tiap bulan, dan dua rakaat sebelum subuh. (HR. An Nasa’i, dalam
As Sunan Al Kubra No. 2724, Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 7048, Ahmad No.
26456)
Hanya saja para ulama mendhaifkan hadits ini. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan: “Hadits ini dhaif, kecuali sabdanya: “dua rakaat sebelum
subuh,” yang ini shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 26456)
Didhaifkan pula oleh Syaikh Al Albani. (Irwa’ul Ghalil, No. 954)
3. Shaum ‘Arafah (Pada 9
Dzulhijjah)
Dari Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
وَسُئِلَ
عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
وَالْبَاقِيَةَ
Nabi ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, beliau menjawab:
“Menghapuskan dosa tahun lalu dan tahun kemudian.” (HR. Muslim No. 1162, At
Tirmidzi No. 749, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 2805, Ath Thabari dalam
Tahdzibul Atsar No. 763, Ahmad No. 22535, 22650. Ibnu Khuzaimah No. 2117, dan
ini adalah lafaz Imam Muslim)
Hadits ini menunjukkan sunahnya puasa ‘Arafah.
Apakah Yang Sedang Wuquf Dilarang Berpuasa ‘Arafah?
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وقد
استحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا بعرفة
Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada hari ‘Arafah,
kecuali bagi yang sedang di ‘Arafah. (Sunan At Tirmidzi, komentar hadits No.
749)
Apa dasarnya bagi yang sedang wuquf di ‘Arafah dilarang
berpuasa?
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ
بِعَرَفَاتٍ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada
hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah. (HR. Abu Daud No. 2440, Ibnu Majah
No. 1732, Ahmad No. 8031, An Nasa’i No. 2830, juga dalam As Sunan Al Kubra No.
2731, Ibnu Khuzaimah No. 2101, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1587)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim, katanya: “Shahih
sesuai syarat Bukhari dan Muslim tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” (Al
Mustadrak No. 1587) Imam Adz Dzahabi menyepakati penshahihannya.
Dishahihkan pula oleh Imam Ibnu Khuzaimah, ketika beliau
memasukkannya dalam kitab Shahihnya. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar:
قُلْت
قَدْ صَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَ وَثَّقَ مَهْدِيًّا الْمَذْكُورَ: ابْنُ
حِبَّانَ
Aku berkata: Ibnu khuzaimah telah menshahihkannya, dan Mahdi
telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. (At Talkhish, 2/461-462)
Namun ulama lain menyatakan bahwa hadits ini dhaif.[5]
Mereka menyanggah tashhih (penshahihan) tersebut, karena perawi
hadits ini yakni Syahr bin Hausyab dan Mahdi Al Muharibi bukan perawi Bukhari
dan Muslim sebagaimana yang diklaim Imam Al Hakim.
Imam Al Munawi mengatakan:
قال
الحاكم : على شرط البخاري وردوه بأنه وهم إذ مهدي ليس من رجاله بل قال ابن معين :
مجهول ، وقال العقيلي : لا يتابع عليه لضعفه
Berkata Al Hakim: “Sesuai syarat Bukhari,” mereka (para ulama)
telah menyanggahnya karena terjadi ketidakjelasan pada Mahdi, dia bukan
termasuk perawinya Bukhari, bahkan Ibnu Ma’in mengatakan: majhul. Al ‘Uqaili
mengatakan: “Dia tidak bisa diikuti karena kelemahannya.” (Faidhul Qadir,
6/431)
Lalu, Mahdi Al Muharibi – dia adalah Ibnu Harb Al Hijri,
dinyatakan majhul (tidak diketahui) keadaannya oleh para muhadditsin.
Syaikh Al Albani berkata:
قلت
: وإسناده ضعيف ومداره عند الجميع على مهدي الهجري وهو مجهول
Aku berkata: isnadnya dhaif, semua sanadnya berputar pada Mahdi
Al Hijri, dan dia majhul. (Tamamul Minnah Hal. 410)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata:
إسناده
ضعيف، لجهالة مهدي المحاربي -وهو ابن حرب الهجري-، وذكره ابن حبان في “الثقات”،
وهو تساهل منه.
Isnadnya dhaif, karena ke-majhul-an Mahdi Al Muharibi, dia
adalah Ibnu Harbi Al Hijri, dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats
Tsiqaat (orang-orang terpercaya), dia (Ibnu Hibban) memang yang
menggampangkannya (untuk ditsiqahkan, pen). (Ta’liq Musnad Ahmad No. 8041)
Telah masyhur bagi para ulama hadits, bahwa Imam Ibnu Hibban
adalah imam hadits yang dinilai terlalu mudah men-tsiqah-kan perawi yang
majhul.
Majhulnya Mahdi Al Muharibi juga di sebutkan oleh Al Hafizh Ibnu
Hajar. (At Talkhish Al Habir, 2/461), Imam Al ‘Uqaili mengatakan dalam Adh
Dhuafa: “Dia tidak bisa diikuti.” (Ibid)
Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Abu Hatim mengatakan: Laa A’rifuhu
– saya tidak mengenalnya. (Imam Ibnu Mulqin, Al Badrul Munir, 5/749)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan:
وفي
إسناده نظر، فإن مهدي بن حرب العبدي ليس بمعروف
Dalam isnadnya ada yang perlu dipertimbangkan, karena Mahdi bin
Harb Al ‘Abdi bukan orang yang dikenal. (Zaadul Ma’ad, 1/61), begitu pula
dikatakan majhul oleh Imam Asy Syaukani. (Nailul Authar, 4/239)
Maka, pandangan yang lebih kuat adalah tidak ada yang shahih
larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah. Oleh karenanya
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan:
لم
يثبت أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قد نهى عن صيام هذا اليوم
Tidak ada yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah melarang berpuasa pada hari ini ( 9 Dzhulhijjah). (Ta’liq Musnad Ahmad,
No. 8031)
Tetapi, di sisi lain juga tidak ada yang shahih bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa ketika wuquf di ‘Arafah.
Diriwayatkan secara shahih:
عَنْ
أُمِّ الْفَضْلِ أَنَّهُمْ شَكُّوا فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحٍ مِنْ لَبَنٍ فَشَرِبَهُ
Dari Ummu Al Fadhl, bahwa mereka ragu tentang berpuasanya Nabi
Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari ‘Arafah, lalu dikirimkan kepadanya
segelas susu, lalu dia meminumnya. (HR. Bukhari No. 5636)
Oleh karenanya Imam Al ‘Uqaili mengatakan:
وَقَدْ
رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَسَانِيدَ جِيَادٍ
أَنَّهُ لَمْ يَصُمْ يَوْمَ عَرَفَةَ بِهَا وَلَا يَصِحُّ عَنْهُ النَّهْيُ عَنْ
صِيَامِهِ
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dengan sanad-sanad yang baik, bahwa Beliau belum pernah berpuasa pada hari
‘Arafah ketika berada di sana, dan tidak ada yang shahih darinya tentang
larangan berpuasa pada hari itu. (Adh Dhuafa, No. 372)
Para sahabat yang utama pun juga tidak pernah berpuasa ketika
mereka di ‘Arafah.
Disebutkan oleh Nafi’ –pelayan Ibnu Umar, sebagai berikut:
عن
نافع قال سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة بعرفة قال لم يصمه رسول الله صلى الله عليه
وسلم ولا أبو بكر ولا عمر ولا عثمان
Dari Nafi’, dia berkata: Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa hari
‘Arafah ketika di ‘Arafah, dia menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidak berpuasa, begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. An
Nasa’i, As Sunan Al Kubra No. 2825)
Maka, larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang di ‘Arafah
tidaklah pasti, di sisi lain, Nabi pun tidak pernah berpuasa ketika sedang di
‘Arafah, begitu pula para sahabat setelahnya. Oleh karena itu, kemakruhan
berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah bagi yang sedang wuquf telah diperselisihkan para
imam kaum muslimin. Sebagian memakruhkan dan pula ada yang membolehkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau tidak pernah melakukannya,
tetapi juga tidak melarang puasa ‘Arafah bagi yang wuquf di ‘Arafah.
سئل
بن عمر عن صوم يوم عرفة فقال حججت مع النبي صلى الله عليه و سلم فلم يصمه وحججت مع
أبي بكر فلم يصمه وحججت مع عمر فلم يصمه وحججت مع عثمان فلم يصمه وأنا لا أصومه
ولا أمر به ولا أنهى عنه
Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa pada hari ‘Arafah, beliau
menjawab: “Saya haji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau tidak
berpuasa, saya haji bersama Abu Bakar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama
Umar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama ‘Utsman dia juga tidak berpuasa,
dan saya tidak berpuasa juga, saya tidak memerintahkan dan tidak melarangnya.”
(Sunan Ad Darimi No. 1765. Syaikh Husein Salim Asad berkata:isnaduhu shahih.)
Kalangan Hanafiyah mengatakan, boleh saja berpuasa ‘Arafah bagi
jamaah haji yang sedang wuquf jika itu tidak membuatnya lemah. (Syaikh Wahbah
Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/25)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan bahwa tidak dianjurkan
mereka berpuasa, walaupun kuat fisiknya, tujuannya agar mereka kuat berdoa:
أما
الحاج فلا يسن له صوم يوم عرفة، بل يسن له فطره وإن كان قوياً، ليقوى على الدعاء،
واتباعاً للسنة
Ada pun para haji, tidaklah disunahkan berpuasa pada hari
‘Arafah, tetapi disunahkan untuk berbuka walau pun dia orang yang kuat, agar
dia kuat untuk banyak berdoa, dan untuk mengikuti sunah.(Ibid, 3/24) Jadi,
menurutnya “tidak disunahkan”, dan tidak disunahkan bukan bermakna tidak boleh.
Namun mayoritas madzhab memakruhkannya, berikut ini rinciannya:
Hanafiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah jika membuat
lemah, begitu juga puasa tarwiyah (8 Dzulhijjah).
Malikiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah, begitu pula
puasa tarwiyah.
Syafi’iyah: jika jamaah haji mukim di Mekkah, lalu pergi ke
‘Arafah siang hari maka puasanya itu menyelisihi hal yang lebih utama, jika
pergi ke ‘Arafah malam hari maka boleh berpuasa. Jika jamaah haji adalah
musafir, maka secara mutlak disunahkan untuk berbuka.
Hanabilah: Disunahkan bagi para jamaah haji berpuasa pada hari
‘Arafah jika wuqufnya malam, bukan wuquf pada siang hari, jika wuqufnya siang
maka makruh berpuasa. (Lihat rinciannya dalam Al Fiqhu ‘Alal Madzahib Al
Arba’ah, 1/887, karya Syaikh Abdurrahman Al Jazairi)
4. Shalat Idul Adha dan
Menyembelih Hewan Qurban
Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman;
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS.
Al Kautsar: 2)
Shalat Idul Adha (juga Idhul Fitri) adalah sunah muakadah.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
شرعت
صلاة العيدين في السنة الاولى من الهجرة، وهي سنة مؤكدة واظب النبي صلى الله عليه
وسلم عليها وأمر الرجال والنساء أن يخرجوا لها.
Disyariatkannya shalat ‘Idain (dua hari raya) pada tahun pertama
dari hijrah, dia adalah sunah muakadah yang selalu dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau memerintahkan kaum laki-laki dan wanita
untuk keluar meramaikannya. (Fiqhus Sunnah, 1/317)
Ada pun kalangan Hanafiyah berpendapat wajib, tetapi wajib dalam
pengertian madzhab Hanafi adalah kedudukan di antara sunah dan fardhu.
Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
صَلاَةُ
الْعِيدَيْنِ وَاجِبَةٌ عَلَى الْقَوْل الصَّحِيحِ الْمُفْتَى بِهِ عِنْدَ
الْحَنَفِيَّةِ – وَالْمُرَادُ مِنَ الْوَاجِبِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ : أَنَّهُ
مَنْزِلَةٌ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالسُّنَّةِ – وَدَلِيل ذَلِكَ : مُوَاظَبَةُ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا مِنْ دُونِ تَرْكِهَا
وَلَوْ مَرَّةً
Shalat ‘Idain adalah wajib menurut pendapat yang shahih yang
difatwakan oleh kalangan Hanafiyah –maksud wajib menurut madzhab Hanafi adalah
kedudukan yang setara antara fardhu dan sunah. Dalilnya adalah begitu
bersemangatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, Beliau tidak
pernah meninggalkannya sekali pun. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
27/240)
Sedangkan Syafi’iyah dan Malikiyah menyatakan sebagai sunah
muakadah, dalilnya adalah karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
ditanya oleh orang Arab Badui tentang shalat fardhu, Nabi menyebutkan shalat
yang lima. Lalu Arab Badui itu bertanya:
هَل
عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ ؟ قَال لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ
Apakah ada yang selain itu? Nabi menjawab: “Tidak ada, kecuali
yang sunah.” (HR. Bukhari No. 46)
Bukti lain bahwa shalat ‘Idain itu sunah adalah shalat tersebut
tidak menggunakan adzan dan iqamah sebagaimana shalat wajib lainnya. Shalat
tersebut sama halnya dengan shalat sunah lainnya tanpa adzan dan iqamah,
seperti dhuha, tahajud, dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa shalat ‘Idain adalah
sunah.
Sedangkan Hanabilah mengatakan fardhu kifayah, alasannya adalah
karena firman Allah Ta’ala menyebutkan shalat tersebut dengan kalimat perintah:
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2).
Juga karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu merutinkannya. (Ibid,
27/240)
Insya Allah, secara khusus pada kesempatan lain akan kami bahas
pula adab-adab pada hari raya.
Selanjutnya berqurban, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, ada yang
mengatakan wajib bagi yang memiliki kelapangan rezeki, ada pula yang mengatakan
sunah mu’akadah, dan inilah pendapat mayoritas sahabat, tabi’in, dan para
ulama.
Ulama yang mewajibkan berdalil dengan hadits berikut, dari Abu
Hurairah Radhiallhu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
مَنْ
كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak
berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah No. 3123, Al
Hakim No. 7565, Ahmad No. 8273, Ad Daruquthni No. 53, Al Baihaqi dalam Syu’abul
Iman No. 7334)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya
No. 7565, katanya:“Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak
meriwayatkannya.” Imam Adz Dzahabi menyepakati hal ini.
Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 6490,
namun hanya menghasankan dalam kitab lainnya seperti At Ta’liq Ar Raghib,
2/103, dan Takhrij Musykilat Al Faqr,No. 102.
Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth mendhaifkan hadits ini, dan
beliau mengkritik Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi dengan sebutan: “wa huwa
wahm minhuma – ini adalah wahm (samar/tidak jelas/ragu) dari keduanya.” Beliau
juga menyebut penghasanan yang dilakukan Syaikh Al Albani dengan sebutan: “fa
akhtha’a – keliru/salah.” (Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 8273)
Mengomentari hadits ini, berkata Imam Amir Ash Shan’ani
Rahimahullah:
وَقَدْ
اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى وُجُوبِ التَّضْحِيَةِ عَلَى مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ
لِأَنَّهُ لَمَّا نَهَى عَنْ قُرْبَانِ الْمُصَلَّى دَلَّ عَلَى أَنَّهُ تَرَكَ
وَاجِبًا كَأَنَّهُ يَقُولُ لَا فَائِدَةَ فِي الصَّلَاةِ مَعَ تَرْكِ هَذَا
الْوَاجِبِ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى { فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ } وَلِحَدِيثِ
مِخْنَفِ بْنِ سُلَيْمٍ مَرْفُوعًا { عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ
أُضْحِيَّةٌ } دَلَّ لَفْظُهُ عَلَى الْوُجُوبِ ، وَالْوُجُوبُ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ
“Hadits ini dijadikan dalil wajibnya berkurban bagi yang
memiliki kelapangan rezeki, hal ini jelas ketika Rasulullah melarang mendekati
tempat shalat, larangan itu menunjukkan bahwa hal itu merupakan meninggalkan
kewajiban, seakan Beliau mengatakan shalatnya tidak bermanfaat jika
meninggalkan kewajiban ini. Juga karena firmanNya: “maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” Dalam hadits Mikhnaf bin Sulaim secara marfu’
(sampai kepada Rasulullah) berbunyi: “ (wajib) atas penduduk setiap rumah pada
tiap tahunnya untuk berkurban.” Lafaz hadits ini menunjukkan wajibnya. Pendapat
yang menyatakan wajib adalah dari Imam Abu Hanifah.[6]
Sementara yang tidak mewajibkan, menyatakan bahwa dua hadits di
atas tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), sebab yang pertama mauquf (hanya
sampai sahabat nabi, bukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), hadits
kedua dha’if. Sedangkan ayat Fashalli li Rabbika wanhar, tidak bermakna wajib
kurban melainkan menunjukkan urutan aktifitas, yakni menyembelih kurban dilakukan
setelah shalat Id.
Berikut keterangan dari Imam Ash Shan’ani:
وَقِيلَ
لَا تَجِبُ وَالْحَدِيثُ الْأَوَّلُ مَوْقُوفٌ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ وَالثَّانِي
ضَعْفٌ بِأَبِي رَمْلَةَ قَالَ الْخَطَّابِيُّ : إنَّهُ مَجْهُولٌ وَالْآيَةُ
مُحْتَمِلَةٌ فَقَدْ فُسِّرَ قَوْلُهُ ( { وَانْحَرْ } ) بِوَضْعِ الْكَفِّ عَلَى
النَّحْرِ فِي الصَّلَاةِ أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ شَاهِينَ فِي
سُنَنِهِ وَابْنُ مَرْدُوَيْهِ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَفِيهِ
رِوَايَاتٌ عَنْ الصَّحَابَةِ مِثْلُ ذَلِكَ وَلَوْ سُلِّمَ فَهِيَ دَالَّةٌ عَلَى
أَنَّ النَّحْرَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ تَعْيِينٌ لِوَقْتِهِ لَا لِوُجُوبِهِ
كَأَنَّهُ يَقُولُ إذَا نَحَرْت فَبَعْدَ صَلَاةِ الْعِيدِ فَإِنَّهُ قَدْ
أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَنَسٍ { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَنْحَرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَأُمِرَ أَنْ يُصَلِّيَ ثُمَّ يَنْحَرُ }
وَلِضَعْفِ أَدِلَّةِ الْوُجُوبِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنْ الصَّحَابَةِ
وَالتَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ إلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ بَلْ قَالَ
ابْنُ حَزْمٍ لَا يَصِحُّ عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ .
“Dikatakan: Tidak wajib, karena hadits pertama adalah mauquf dan
tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Hadits kedua (dari Mikhnaf bin Sulaim)
dhaif karena dalam sanadnya ada Abu Ramlah. Berkata Imam Al Khathabi: “Dia itu
majhul (tidak dikenal).” Sedangkan firmanNya: “…berkurbanlah.”adalah tentang
penentuan waktu penyembelihan setelah shalat. Telah diriwayatkan oleh Abu
Hatim, Ibnu Syahin di dalam sunan-nya, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dari Ibnu
Abbas dan didalamnya terdapat beberapa riwayat dari sahabat yang seperti ini,
yang menunjukkan bahwa menyembelih kurban itu dilakukan setelah shalat (‘Ied).
Maka ayat itu secara khusus menjelaskan tentang waktu penyembelihnnya, bukan
menunjukkan kewajibannya. Seolah berfirman: Jika engkau menyembelih maka
(lakukan) setelah shalat ‘Ied. Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Anas: “Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyembelih sebelum shalat Id,
lalu Beliau diperintahkan untuk shalat dulu baru kemudian menyembelih.” Maka
nyatalah kelemahan alasan mereka yang mewajibkannya. Sedangkan, madzhab jumhur
(mayoritas) dari sahabat, tabi’in, dan ahli fiqih, bahwa menyembelih qurban
adalah sunah mu’akkadah, bahkan Imam Ibnu Hazm mengatakan tidak ada yang shahih
satu pun dari kalangan sahabat yang menunjukkan kewajibannya.”[7]
Seandainya hadits-hadits di atas shahih, itu pun tidak
menunjukkan kewajibannya. Sebab dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا
دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ
شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Jika kalian memasuki tanggal 10 (Dzulhijjah) dan hendak
berkurban maka janganlah dia menyentuh sedikit pun dari rambutnya dan
kulitnya.” (HR. Muslim No. 1977)[8]
Hadits tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa berkurban itu
terkait dengan kehendak, manusianya oleh karena itu Imam Asy Syafi’i menjadikan
hadits ini sebagai dalil tidak wajibnya berkurban alias sunah.
Berikut ini keterangannya:
قال
الشافعي إن قوله فأراد أحدكم يدل على عدم الوجوب
Berkata Asy Syafi’i: “Sesungguhnya sabdanya “lalu kalian
berkehendak”menunjukkan ketidak wajibannya.[9]
Insya Allah tentang Fiqih Qurban akan kami bahas pada hari-hari
yang akan datang.
5. Tidak Berpuasa pada Hari
Raya (10 Dzulhijah) dan hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَوْمُ
عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ
الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari ‘Arafah, hari penyembelihan qurban, hari-hari tasyriq,
adalah hari raya kita para pemeluk islam, itu adalah hari-hari makan dan minum.
(HR. At Tirmidzi No. 773, katanya:hasan shahih, Ad Darimi No. 1764)[10]
Dari Nubaisyah Al Hudzalli, katanya: bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيَّامُ
التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.” (HR.
Muslim No. 1141)
Inilah di antara dalil agar kita tidak berpuasa pada hari raya
dan hari-hari tasyriq, karena itu adalah hari untuk makan dan minum. Sedangkan
untuk puasa pada hari ‘Arafah sudah dibahas pada bagian sebelumnya.
Imam At Tirmidzi berkata:
وَالْعَمَلُ
عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ الصِّيَامَ أَيَّامَ
التَّشْرِيقِ إِلَّا أَنَّ قَوْمًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ رَخَّصُوا لِلْمُتَمَتِّعِ إِذَا لَمْ يَجِدْ
هَدْيًا وَلَمْ يَصُمْ فِي الْعَشْرِ أَنْ يَصُومَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ وَبِهِ
يَقُولُ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ
Para ulama mengamalkan hadits ini, bahwa mereka memakruhkan
berpuasa pada hari-hari tasyriq, kecuali sekelompok kaum dari sahabat Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdan selain mereka, yang memberikan keringanan
untuk berpuasa pada hari-hari tasyriq bagi orang yang berhaji tamattu’ jika
belum mendapatkan hewan untuk berqurban dan dia belum berpuasa pada hari yang
sepuluh (pada bulan Dzulhijjah, pen). Inilah pendapat Malik bin Anas, Asy
Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. (Sunan At Tirmidzi, lihat komentar hadits No. 773)
Pada saat itu dibolehkan mengadakan acara (haflah) makan dan
minum, karena memang kaum muslimin sedang berbahagia. Hal itu sama sekali bukan
perbuatan yang dibenci.
Al Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan terhadap hadits ini,
katanya:
وأن
الأكل والشرب في المحافل مباح ولا كراهة فيه
“Sesungguhnya makan dan minum pada berbagai acara adalah mubah
dan tidak ada kemakruhan di dalamnya.”[11]
6.
Berdzikir Kepada Allah Ta’ala pada hari-hari Tasyriq
Dalam riwayat Imam Muslim, dari Nubaisyah Al Hudzalli, bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيَّامُ
التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum. (HR. Muslim
No. 1141), dan dalam riwayat Abu Al Malih ada tambahan: “dan hari berdzikir
kepada Allah.” (HR. Muslim No. 1141)
Pada hari-hari tasyriq kita dianjurkan banyak berdzikir, karena
Nabi juga mengatakan hari tasyriq adalah hari berdzikir kepada Allah Ta’ala.
Agar kebahagian dan pesta kaum muslimin tetap dalam bingkai kebaikan, dan tidak
berlebihan.
Imam Ibnu Habib menjelaskan tentang berdzikir pada hari-hari
tasyriq:
يَنْبَغِي
لِأَهْلِ مِنًى وَغَيْرِهِمْ أَنْ يُكَبِّرُوا أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ إِذَا
اِرْتَفَعَ ثُمَّ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ بِالْعَشِيِّ وَكَذَلِكَ فَعَلَ
وَأَمَّا أَهْلُ الْآفَاقِ وَغَيْرُهُمْ فَفِي خُرُوجِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى
وَفِي دُبُرِ الصَّلَوَاتِ وَيُكَبِّرُونَ فِي خِلَالِ ذَلِكَ وَلَا يَجْهَرُونَ
Hendaknya bagi penduduk Mina dan selain mereka untuk bertakbir
pada awal siang (maksudnya pagi, pen), lalu ketika matahari meninggi, lalu
ketika matahari tergelincir, kemudian pada saat malam, demikian juga yang
dilakukan. Ada pun penduduk seluruh ufuk dan selain mereka, pada setiap
keluarnya mereka ke tempat shalat dan setelah shalat hendaknya mereka bertakbir
pada saat itu, dan tidak dikeraskan.[12]
Maka, boleh saja bertakbir saat hari-hari tasyriq (11, 12, 13
Dzulhijjah) sebagaimana yang kita lihat pada sebagian masjid dan surau, yang
mereka lakukan setelah shalat. Hal ini berbeda dengan Idul Fithri yang
bertakbirnya hanya sampai naiknya khatib ke mimbar ketika shalat Idul Fithri,
yaitu takbir dalam artian ‘takbiran’-nya hari raya. Ada pun sekedar mengucapkan
takbir (Allahu Akbar) tentunya boleh kapan pun juga.
Demikian. Semoga bermanfaat …….
Wallahu A’lam
__________________________________
[1] Sebagian imam ahli tafsir menyebutkan bahwa, hukum berperang
pada bulan-bulan haram adalah dibolehkan, sebab ayat ini telah mansukh
(direvisi) secara hukum oleh ayat: “Perangilah orang-orang musyrik di mana saja
kalian menjumpainya ….”. Sementara, ahli tafsir lainnya mengatakan, bahwa ayat
ini tidak mansukh, sehingga larangan berperang pada bulan itu tetap berlaku
kecuali darurat. Dan, Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan
bahwa ayat ini mansukh (direvisi) hukumnya. (Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul
Kutub Al ‘Ilmiyah) Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada
bulan-bulan haram adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelarangan hanya
terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al
Islam)
[2] Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Dar Ath Thayyibah
[3] Ibid
[4] Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Lihat Syaikh Sayyid Ath
Thanthawi, Al Wasith, 1/4497. Mawqi’ At Tafasir
[5] Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Ta’liq Musnad Ahmad No. 8031,
Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya seperti Tamamul Minnah Hal. 410, At
Ta’liq Ar Raghib, 2/77, Dhaif Abi Daud No. 461, dan lainnya
[6] Subulus Salam, 4/91
[7] Ibid
[8] Berkata Imam An Nawawi tentang maksud hadits ini:
وَاخْتَلَفَ
الْعُلَمَاء فِيمَنْ دَخَلَتْ عَلَيْهِ عَشْر ذِي الْحِجَّة وَأَرَادَ أَنْ
يُضَحِّيَ فَقَالَ سَعِيد بْن الْمُسَيِّب وَرَبِيعَة وَأَحْمَد وَإِسْحَاق
وَدَاوُد وَبَعْض أَصْحَاب الشَّافِعِيّ : إِنَّهُ يَحْرُم عَلَيْهِ أَخْذ شَيْء
مِنْ شَعْره وَأَظْفَاره حَتَّى يُضَحِّي فِي وَقْت الْأُضْحِيَّة ، وَقَالَ
الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه : هُوَ مَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه وَلَيْسَ بِحَرَامٍ ،
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة : لَا يُكْرَه ، وَقَالَ مَالِك فِي رِوَايَة : لَا
يُكْرَه ، وَفِي رِوَايَة : يُكْرَه ، وَفِي رِوَايَة : يَحْرُم فِي التَّطَوُّع
دُون الْوَاجِب .
Ulama berbeda pendapat tentang orang yang memasuki 10 hari bulan
Zulhijjah dan orang yang hendak berquban. Sa’id bin Al Musayyib, Rabi’ah,
Ahmad, Ishaq, Daud, dan sebagian pengikut Asy Syafi’I mengatakan: sesungguhnya
haram baginya memotong rambut dan kukunya sampai dia berqurban pada waktu
berqurban. Asy Syafi’i dan pengikutnya mengatakan: hal itu makruh, yakni makruh
tanzih (makruh mendekati boleh), tidak haram. Abu Hanifah mengatakan: tidak
makruh. Malik mengatakan: tidak makruh. Pada riwayat lain dari Malik; makruh.
Pada riwayat lain: diharamkan pada haji yang sunah, bukan yang wajib. (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/472)
[9] Subulus
Salam, 4/91
[10] Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnaduhu shahih. Al
Hakim dalam Al Mustadrak No. 1586, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan
Muslim, tetapi mereka tidak meriwayatkannya.”
[11] Fathul Bari, 4/238
[12]
Imam Abul Walid Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, 2/463