Jumat, 30 Desember 2011

Berkarya dan Beramal: Rahasia ‘Hidup’ Sepanjang Masa


 


“GAJAH mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, ” demikian sebuah pepata masyhur mengatakan. Pribahasa yang mencoba menjelaskan betapa mahluk dan seseorang akan dikenang semasa ketika mereka hidup. Kematian tidak serta merta menghapus eksistensi mereka di muka bumi ini, masuknya jasad di liang lahat setelah itu ia akan dikenal orang atas amal perbuatannya.
Pelajaran yang bisa kita petik dari pribahasa ini, kalau makhluk semacam gajah dan harimau saja mampu mewariskan jejak sepeninggalnya mereka, lalu, bagaimana dengan kita manusia yang notabene jauh lebih mulia dengan dua binatang tersebut?
***
Kalau yang dijadika barometer lamanya hidup di dunia adalah umur, maka sungguh sangat singkat kehidupan di dunia ini. Untuk manusia di akhir zaman, paling lama umur mereka berkisar 100 hingga 120 tahunan. Itu pun hanya segelintir orang. Pada umumnya, manusia saat ini berumur 60-75 tahunan. Jadi relatif sangat singkat, terlebih kalau kita bandingkan dengan umat-umat terdahulu (sebelum Nabi Muhammad), yang hidupnya mencapai ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.

Namun ada cara yang alegan bagaimana mengebadikan ‘kehidupan’ kita di dunia ini, sekali pun jasad telah ditelan bumi. Caranya adalah berkarya (beramal). Hanya dengan cara demikian, kita bisa hidup “abadi”. Abadi bukan berarti hidup selama-lamanya tanpa menjumpai kematian. Tapi “abadi” dikenal karena amal baik kita semasa hidup.

Hal ini lah yang dilakukan oleh orang-orang besar terdahulu. Mereka tetap dikenang hingga hari ini, karena mereka mampu mengukir karya (amal) yang fenomenal serta menumental, sehingga usaha mereka tetap dirasakan bahkan dikembangkan oleh generasi-gerasi selanjutnya.
Contoh paling nyata adalah ulama empat madzhab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal), betapa mereka telah mampu mengabadikan ‘kehidupan’ mereka di dunia ini dengan karya (beramal)-karya (beramal) kitab yang mereka karang.

Sekali pun mereka telah meninggal ratusan tahun yang silam, namun hingga hari ini, ratusan juta umat Islam di dunia masih mengkaji dan mendalami kitab-kitab yang mereka karang, termasuk di Indonesia.

Panglima Thariq bin Ziyad yang mempu menyi’arkan Islam hingga ke negeri Matador, Spanyol. Panglima AL-Fatih yang mampu mendobrak benteng kokoh konstantinopel, Turki, dan Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi, yang mampu merebut Yerussalem, Paletina, dari pasukan Salib, adalah di antara tokoh-tokoh yang tidak akan pernah mati ditelan masa, dikarena begitu besarnya karya (amal) mereka bagi umat ini.
Bahkan, mereka akan selalu menjadi inspirator/motivator bagi kaum selanjutnya untuk melakukan kebaikkan-kebaikkan sebagaimana yang telah mereka lakukan.

Jadi, hanya dengan cara demikian lah, amal nyata, kita bisa melanggengkan keeksistensian kita di muka bumi ini, sekali pun jasad telah di liang lahat. Dan yang perlu menjadi catatan, yang dimaksud dengan karya (beramal) di sini adalah yang bernuansa positif, bukan sebaliknya.

Investasi Akhirat

Selain mampu mengabadikan keeksistensian kita, sebuah amal juga bisa menjadi investasi masa depan kita di akhirat kelak. Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan, bahwa kitika ada bani adam, manusia, meninggal dunia, maka terputus lah segala hal yang berkaitan dengan dunia ini, kecuali tiga perkara.

Pertama adalah ilmu yang bermanfaat. Kedua adalah shadaqah jariyah. Dan ketiga, anak yang sholeh/sholehah yang selalu mendo’akan kedua orangtuanya.
Yang jelas amal kita di muka bumi ini, bisa saja menduduki posisi sebagai shadaqah jariyah, karena banyaknya orang mengambil manfaat dari apa yang kita ciptakan.

Sering kita dengar obrolan atau bahkan dalam sering pula kita dapati orang-orang non Muslim, orang yang tidak beribadah, tidak shalat bisa kaya-raya, berlaku baik pada orang, dan memiliki etos kerja tinggi serta bisa berlaku dermawan kepada tetangga. Sehingga mereka dipuji karena kebaikan-kebaikan itu.
“Mereka tidak shalat, tapi mereka bisa kaya dan membantu banyak orang. Kita tiap hari shalat, tetapi tidak bisa beramal, “ begitu kata orang melihat kasus seperti ini. Apakah benar demikian? Jelas tidak.

Allah Subhanahu Wata’ala menjelaskan dengan rinci sekali masalah ini. Allah tidak membeda-bedakan pemberian harta kepada orang Muslim atau kafir sekalipun. Allah hanya memberi kepada yang IA mau. Terserah siapa, itu hak Allah semata. Tak perduli dia atheis sekalipun.
Hanya saja, kata Allah, harta yang diberikan kepada orang-orang kafir, semuanya tidak dinilai alias sia-siapa. Berapapun amal dan jumalah mereka keluarkan sebagai bantua. Sebab yang mereka lakukan itu bukan dikarenakan Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam ayat ke-39 surat An-Nur, Allah menyatakan bahwa amal-amal baik orang kafir itu laksana fatamorgana di tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاء حَتَّى إِذَا جَاءهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً وَوَجَدَ اللَّهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
"Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya." (QS An-Nur: 39)

Dalam surat lain Allah berfirman;
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri.Itu hanyalah kesenangan sementara, Kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS. Ali Imran : 196-197)

Jadi sesungguhnya, semua yang telah diberikan Allah kepada orang-orang kafir hanyalah semu. Sedang yang dihuting adalah amal kaum Muslim yang disarakan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Pondasinya Ikhlas

Sekali pun demikian, yang perlu kita waspadai adalah menjaga niat. Kita harus ikhlas dalam berkarya (beramal). Artinya, setiap ramal yang kita, bukan untuk mendapatkan pujian atau sanjungan, lebih-lebih materi dari orang lain. Namun semata-mata hanya mengharap ridha Allah semata.

Ketika kita tidak mampu menjaga hati sedemikian rupa, maka sungguh kecelakaan lah bagi kita, karena Allah tidak akan pernah menerima amal hamba-Nya yang diniatkan untuk memperoleh ridha manusia, bukan ridha-Nya.

Katakanlah, قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS: al-Anfal [6]: 162).

Dijelaskan dalam salah satu sabda Rosulullah, bahwa ada beberapa orang di akhirat kelak akan dicap oleh Allah sebagai pendusta sejati, dikarenakan niat mereka yang salah dalam melakukan suatu amalan.

Mereka adalah para ulama yang mengajarkan ilmu pada suatu kaum, namun dalam hatinya bercongkol niat, bahwa dia melakukan hal tersebut agar dipuji oleh manusia sebagai pribadi yang fakih, alim, ahli agama, dan sebaginya.

Selanjutnya, yaitu mereka yang masa hidupnya menggunakan waktunya untuk berperang melawan musuh-musuh Allah. Sayang sekali sayang, dorongan yang menggerakkannya melakukan hal yang paling mulia dalam urusan agama tersebut, bukan ingin mencari cinta Allah, namun lebih kepada kehausan akan gelar pahlawan di mata manusia.

Walhadil niat dan ikhlas (iman) adalah pondasi dari amal dan karya akhir kita. Jika fondasi tersebut kokoh, maka bangunan-pun akan tegak kuat menjulang, sebaliknya kalau fondasinya lemah atau rapuh, maka bangunan pun akan runtuh.Wallahu a’lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar