Jumat, 18 Mei 2012

Mengenal Sab’ah Ahruf dalam Al-Qur’an

E-mail

mengenal_sabah_ahruf_dalam_alquran_s.jpgTelah menjadi ijma’ di kalangan para ulama bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan membawa sab’ah ahruf (tujuh huruf) berdasarkan hadist-hadist sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka berbeda pendapat mengenai makna sab’ah ahruf tersebut. Berikut ini uraian mengenai masalah tersebut serta perbedaan antara ahruf dan qiroat.

Definisi Ahrufus Sab’ah
 
Kata ahruf adalah bentuk jamak (plural) dari kata harf (huruf) yang secara bahasa berarti ujung, pinggir, puncak atau perbatasan. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada pada harf.” (QS. Al-Hajj: 11) Yaitu berada di tepi atau batas terluar keyakinan, maksudnya adalah berada dalam keragu-raguan. Jika mendapatkan kesenangan mereka tetap beriman, namun jika mendapatkan kesusahan mereka kembali kepada kekafiran. (Tafsir Ath-Thobari)
 
Adapun terkait hadits-hadits tentang tujuh ahruf, para ulama berbeda pendapat mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata “ahruf” tersebut. Sebagian ulama menafsirkannya dengan logat (dialek bahasa). Jadi, maknanya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh logat di antara logat-logat kabilah Arab. Ini adalah pendapat Al-Fairuzabadi (penulis kamus Al-Muhith).
 
Ulama lain menafsirkan kata ahruf dengan ragam bacaan. Jadi, Al-Qur’an mengakomodir tujuh ragam bacaan di dalamnya. Namun bukan berarti setiap kata atau ayat dibaca dengan tujuh ragam bacaan. Akan tetapi, seluruh perbedaan yang terdapat dalam tatacara membaca Al-Qur’an itu tidak keluar dari tujuh ragam bacaan tersebut. Misalnya kata “maliki yaumiddin” (QS. Al-Fatihah: 4), telah diriwayatkan bahwa kata itu memiliki tujuh hingga sepuluh ragam bacaan, begitu juga kata “wa ‘abadat thoghut” (QS. Al-Maidah: 60) juga diriwayatkan memiliki ragam bacaan sampai dua puluh dua. Bahkan kata “uff” diriwayatkan memiliki ragam bacaan sampai tiga puluh tujuh ragam. Akan tetapi, semua ragam bacaan itu tidak keluar dari tujuh ahruf yang dimaksud dalam hadits-hadits nabawi. Semua itu menunjukkan bahwa makna diturunkan dengan tujuh ahruf adalah dengan mengakomodir tujuh ragam bacaan. Sebanyak apa pun cara membaca suatu kata dalam ayat tertentu, tidak akan keluar dari batas tujuh ragam bacaan ini.
 
Lalu, apa saja yang termasuk tujuh ragam bacaan tersebut? Apakah kata “tujuh” dalam hadits itu menunjukkan jumlah (yaitu angka yang berada di antara “enam” dan “delapan”), atau menunjukkan makna banyak?
 
Salah seorang ulama Al-Azhar, Syaikh Muhammad Abdul ’Azhim Al-Zarqani (w. 1367 H) menjelaskan masalah ini secara panjang lebar dalam kitabnya, Manahil Al-Irfan fie Ulum Al-Qur’an. Beliau menyebutkan tiga pendapat yang paling kuat dalam perbedaan pendapat ini lalu mengunggulkan salah satunya, yaitu pendapat Imam Al-Razi. Menurut beliau, kata “tujuh” dalam hadits nabawi menunjukkan jumlah, yaitu angka antara enam dan delapan, bukan menunjukkan makna yang banyak.
 
Adapun ketujuh ragam bacaan tersebut adalah sebagai berikut:
 
Pertama, ragam penyebutan kata benda (ism) yaitu dalam bentuk tunggal (mufrad), ganda (mutsanna) dan plural (jamak), atau pun dalam bentuk muzakkar (laki-laki) dan muannats (perempuan). Misalnya dalam ayat yang berbunyi:
 
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
 
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS. Al-Ma’aarij: 32)
 
Dalam riwayat lain, kata (لِأَمَانَاتِهِمْ) dibaca (لِأَمَانَتِهِمْ) tanpa memanjangkan huruf nun yaitu dalam bentuk tunggal dari kata “amanah”.
 
Kedua, ragam tashrif al-af’al (tenses) dari bentuk madhi (past), mudhari’ (present) dan amr (perintah). Misalnya dalam ayat yang berbunyi:
 
فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا
 
Maka mereka berkata: "Ya Rabb kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami". (QS. Saba : 19)
 
Dalam riwayat lain, kata “rabbana” (رَبَّنَا) yang berupa munada dibaca dengan mendhammahkan huruf ba’ menjadi “rabbuna” (رَبُّنَا) yang berupa fa’il, kemudian kata “baa’id” (بَاعِدْ) yang berupa kata perintah dibaca dengan men-tasydidkan huruf ‘ain serta memfathahkannya bersama huruf dal menjadi “ba’ada” (بَعَّدَ) yaitu berupa kata kerja masa lampau (past).
 
Ketiga, ragam I’rab. Misalnya adalah ayat berikut:
 
وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ
 
dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan (QS. Al-Baqarah: 282)
 
Dalam riwayat lain, kata (يُضَارَّ) dibaca dengan mendhammahkan huruf ra’ (يُضَارُّ). Dalam bacaan pertama (dengan memfathahkan ra’), maka I’rab huruf lam adalah nahiyah, sedangkan dalam bacaan kedua, huruf lam dii’rabkan dengan lam nafiyah.
 
Keempat, ragam penambahan maupun pengurangan. Contohnya adalah ayat berikut:
 
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى
 
dan penciptaan laki-laki dan perempuan, (QS. Al-Lail: 3)
 
Dalam riwayat lain, dibaca seperti di bawah ini:
 
وَالذَّكَرَ وَالْأُنْثَى
 
Yaitu tanpa kata (مَا خَلَقَ)
 
Kelima, ragam taqdim (mengawalkan) maupun ta’khir (mengakhirkan). Misalnya ayat berikut:
 
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ
 
Dan datanglah sakaratul maut dengan haq. (QS. Qaaf: 19)
Dibaca:
 
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْحَقِّ بِالْمَوْتِ
 
Dan datanglah sakaratul haq dengan maut. (QS. Qaaf: 19)
 
Keenam, ragam ibdal. Misalnya ayat berikut:
 
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا
 
dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali (QS. Al-Baqarah: 259)
 
Dengan huruf zay, dibaca:
 
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِرُهَا
 
Dengan huruf ra’ pada kata (نُنْشِرُهَا).
 
Ketujuh, ragam logat, yaitu tata cara membaca kata tertentu berdasarkan logat Arab seperti fathah, imalah, taqlil dan sebagainya. Misalnya ayat berikut:
 
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
 
Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? (QS. Thaha: 9)
 
“Ataaka” (dengan fathah), dibaca “ateeka” (dengan imalah), begitu juga “musa” dibaca “muse” (dengan huruf e seperti dalam kata “enak”)
 
Demikianlah penjelasan mengenai makna ahrufus sab’ah atau tujuh ragam bacaan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Seluruh riwayat tentang tata cara membaca kata tertentu dalam Al-Qur’an tidak akan keluar dari tujuh bentuk di atas.
 
Qiroatus Sab’i (Bacaan Tujuh)
 
Qiroat adalah bentuk jamak (plural) dari kata qiroah yang berarti bacaan (tilawah).[1] Adapun secara istilah, qiroat adalah ilmu tentang tata cara membaca lafal-lafal dalam Al-Qur’an beserta perbedaannya dengan merujuk kepada para penukilnya.
 
Qiroatus sab’ adalah tata cara membaca Al-Quran berdasarkan nukilan tujuh qurra’ ternama yaitu Nafi, Ibn Katsir, Abu Amr, Ibn Amir, ‘Ashim, Hamzah dan Al-Kisai.
 
Rukun-Rukun Qiroat Sahihah
 
Qiroat Sahihah adalah qiroat yang memenuhi rukun-rukunnya sehingga wajib diterima dan tidak boleh ditolak. Rukun-rukun itu ada tiga:
1.     Sesuai dengan kaidah-kaidah tata Bahasa Arab meskipun satu wajh.
2.     Sesuai dengan rasm ustmani, meskipun secara ihtimal.
3.     Memiliki sanad yang mutawatir.
 
Contoh qiroat yang sahihah adalah kata maliki (dengan mim pendek) dan maaliki (dengan mim panjang) dalam surat Al-Fatihah. Bacaan pertama (maliki) sesuai dengan kaidah Bahasa Arab yaitu berupa ism majrur ma’thuf ‘ala rabb (kata yang dijerkan karena terpengaruh kata sebelumnya yaitu rabb) yang berarti “raja”, sesuai dengan rasm utsmani secara lafzhi yang memuat huruf mim-lam-kaf dan memiliki sanad yang sahih sampai Imam ‘Ashim dan Al-Kisai. Demikian pula bacaan kedua (maaliki) sesuai kaidah Bahasa Arab, yang berarti “pemilik”, sesuai rasm ustmani secara ihtimal (taqdiri) yaitu ditakdirkan ada huruf alif setelah mim dan memiliki sanad yang sahih pula sampai jumhur qurra’.
 
Ibnul Jazari berkata, “Setiap qiroah yang sesuai Bahasa Arab –meskipun satu wajh, sesuai salah satu mushaf Utsmani –meskipun secara ihtimal, dan sahih sanadnya, maka itulah qiroah sahihah yang tidak boleh ditolak dan tidak dihalalkan mengingkarinya, bahkan itu termasuk tujuh ahruf yang dengannya Al-Qur’an diturunkan. Wajib bagi manusia menerimanya, baik yang berasal dari Imam Tujuh (aimmah sab’ah), Sepuluh (asyarah) maupun selain mereka yang maqbul (diterima). Apabila hilang salah satu di antara tiga rukun ini, maka disebut Dhaifah (lemah), Syadzah (ganjil) atau Bathilah (palsu), baik dari Imam Tujuh maupun dari imam yang lebih senior daripada mereka. Inilah yang benar menurut para imam peneliti, dari kalangan salaf dan khalaf.”[2]
 
Abu Syamah berkata, “Tidak selayaknya seseorang tertipu dengan setiap qiroah yang dilekatkan pada salah satu Imam Tujuh lalu menyebutnya sahihah dan begitulah qiroat itu diturunkan, kecuali jika telah masuk dalam kategori di atas, karena sesungguhnya qiroah yang dilekatkan kepada setiap salah satu qori dari Imam Tujuh dan selain mereka terbagi menjadi (dua): mujma’ ‘alaih (yang disepakati) dan syadz (ganjil), hanya saja ketujuh imam tersebut karena popularitas mereka dan banyaknya sisi yang sahih dan disepakati dalam qiroah mereka, hati ini cenderung kepada apa yang mereka nukil daripada apa yang dinukil oleh selain mereka.”[3]
 
Menurut Ibnul Jazari, qiroat yang sahihah berjumlah sepuluh, tujuh di antaranya disepakati ketawaturannya yaitu sebagaimana disebutkan di atas, sedangkan tiga lainnya masih diperselisihkan yaitu Abu Ja’far, Yakub dan Khalaf Al-‘Asyir, namun Ibnul Jazari mengunggulkan pendapat yang menganggapnya mutawatirah. Adapun selebihnya yang berjumlah empat adalah syadzah, yaitu Al-Hasan Al-Bashri, Ibn Muhaishin, Yahya Al-Yazidi dan Al-Syanbudzi.
 
Hubungan Antara Ahruf dan Qiroat
Dari penjelasan di atas, tampak jelaslah perbedaan antara tujuh ahruf yang disebutkan dalam hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tujuh qiroat yang populer saat ini serta hubungan antara keduanya.
 
Hubungan antara ahrufus sab’ah dengan qiroatus sab’ adalah seperti hubungan antara rumah dengan kamar. Ahruf ibarat rumah sedangkan qiroat ibarat kamar. Sebanyak apapun qiroat yang ada, keseluruhannya berada dalam lingkup ahruf. Namun tidak semua ahruf itu terdapat dalam satu qiroat. Adakalanya huruf tertentu disebutkan dalam satu qiroat dan tidak disebutkan dalam qiroat lainnya.
 
Oleh karena itu, tidak benar sangkaan sebagian orang awam bahwa ahrufus sab’ah adalah qiroatus sab’, sebab jika yang dimaksud ahruf adalah qiroat, berarti qiroat-qiroat lain di luar tujuh qiroat tersebut tidak termasuk Al-Quran. Padahal sudah maklum di kalangan ulama bahwa qiroat yang dianggap sebagai Al-Quran bukan hanya tujuh itu saja, tapi sepuluh (ditambah qiroat Abu Ja’far, Yakub dan Khalaf Al-‘Asyir).
 
Memang ada sebagian ahli fikih yang mengatakan bahwa qiroat lain di luar qiroatus sab’ tidak boleh dibaca di dalam shalat karena ketawaturannya masih diperselisihkan, namun pendapat ini adalah sebagai langkah kehati-hatian saja dan supaya orang awam tidak kebingungan dengan bacaan-bacaan yang masih asing di telinga mereka sehingga dapat menimbulkan fitnah (kekacauan).
 
Di samping itu, pemilihan tujuh nama dalam qiroatus sab’ bukanlah berdasarkan tawqifi (perintah) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan berdasarkan ijtihad yang dilakukan oleh ulama qiroat. Kemudian, para ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan ketujuh qiroat tersebut. Misalnya, sebagian ulama memasukkan nama Abu Ja’far ke dalam qiroatus sab’, sebagian lain tidak. Jika benar yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuh ahruf adalah tujuh qiroat (berdasarkan nama-nama orang), tentu perbedaan semacam ini tidak layak terjadi, sebab perbedaan ini akan menyebabkan penolakan terhadap qiroat yang tidak dimasukkan dalam qiroatus sab’.
 
Adapun mengenai penentuan tujuh ahruf sebagaimana disebutkan di atas, semua itu didapatkan dari proses penelitian menyeluruh (istiqra’ tamm) dari semua qiroat yang ada.
 
Wallahu a’lamu bish showab.
 
 
[1] Al-Qamus Al-Muhith; Al-Mu’jamul Wasith materi: q-r-a.
[2] An-Nasyr fil Qiroatil ‘Asyr, Muhammad Ibnul Jazari, 1/9, cet. Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra.
[3] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar