Selasa, 29 Maret 2011

Agar Kita Selamat dari "Aliran" Sesat

Senin, 21 Maret 2011

Oleh: Abdullah al-Mustofa

BERAPA jumlah doa anda sejak pertama kali menjalankan shalat hingga saat ini? Tinggal dikalikan sendiri. Jika anda baligh diusia 15 tahun dan kini telah berumur 60 tahun minimal telah memanjatkan do’a tersebut 275.400 kali (17x360x(60-15)). Namun apakah do’a yang telah dipanjatkan sebanyak itu telah efektif? Hanya Allah swt Yang Maha Tahu. Namun sebagai manusia kita tetap bisa berusaha mengukur keefektifan doa tersebut dari tanda-tanda yang nampak secara lahiriahnya. Tugas kita adalah, setiap hari, minimal harus membaca do’a guna memohon petunjuk di setiap shalat.

Do’a memiliki fungsi dan kedudukan yang istemewa. Satu-satunya do’a di dalam al-Qur’an adalah memohon petunjuk kepada jalan yang lurus.

Namun apakah jalan yang lurus Itu? Pengertian jalan yang lurus adalah;
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah [1]:1)

Dalam al-Quran, Allah menyebutkan siapa saja orang-orang yang telah diberi nikmat. Mereka adalah para Nabi, Rasul, orang-orang yang mati syahid, orang-orang sholeh dan shiddiqin. Mereka telah merasakan manisnya dan indahnya Islam dan iman. Mereka juga telah merasakan pengaruh Islam dan iman terhadap diri dan kehidupan mereka. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan Islam. Hanya jalan yang mereka tempuh yang lurus dan benar. Islam yang mereka jalankan adalah Islam yang sebenarnya.

“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS.An-Nisaa’ [4]:69)

Mereka adalah suri teladan terbaik. Cara beragama mereka adalah satu-satunya cara yang benar dan lurus. Mereka sami’na wa atho’na (mendengar lalu melaksanakan) kepada Allah. Mereka mengimani, mengamalkan dan mendakwahkan Islam secara kaffah. Mereka tidak (tidak berani) menambah, mengurangi, protes dan mempertanyakan apalagi membangkang sebagian atau semua yang telah disyari’atkan oleh Allah. Mereka tidak merasa memiliki hak, kebebasan dan wewenang untuk menghapus atau mengubah syariat. Mereka tidak merasa, berpikir dan berkesimpulan ada sebagian syari’at yang tidak disenangi, tidak cocok untuk dirinya dan orang lain atau tidak cocok untuk tempat-tempat atau waktu-waktu tertentu.

Bukannya Jalan Yang Dimurkai

Jalan yang lurus adalah bukan jalannya orang-orang yang dimurkai Allah dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat. Mereka-mereka yang Allah murkai; termasuk kaum Yahudi dan mereka yang sesat adalah kaum Nashara. Kaum Yahudi dimurkai Allah karena mereka mempunyai syari’at namun mereka merubah, menyembunyikan dan tidak melaksanakan syari’at Allah yang tidak sesuai dengan selera dan akal mereka. Kaum Yahudi dimurkai karena sifat-sifat dan watak-watak mereka yang tidak disenangi Allah seperti suka memprotes, mempertanyakan dan membangkang perintah-perintah Allah.

Sementara kaum Nashara disebut Allah sesat karena mereka banyak melakukan amal namun tidak mempunyai syari’at dan tidak mendapatkan petunjuk Allah. Secara umum kedua kaum tersebut sama-sama dimurkai Allah dan sama-sama sesat.

Meski demikian, kaum yang dimurkai --disebut sesat oleh Allah-- tidak terbatas pada kedua kaum tersebut. Ada pula kaum Muslimin yang mengikuti langkah-langkah mereka. Allah juga murka dan melabeli sesat kepada kaum Muslimin yang “setuju”, ”mendukung”, “menginginkan”, “mengkampanyekan” dan “melakukan usaha-usaha perubahan” atau “pembangkangan” terhadap syari’at Allah. Jika ada kaum Muslim masih mempertanyakan syariat Allah, ia tak ubahnya dengan kaum Yahudi yang sangat dibenci. Sekarang, saksikan dan rasakan di sekeliling kita. Betapa banyak orang yang masih mau mengutak-atik, bertanya, bahkan mendebat ketentuan Allah?

Allah juga murka dan mengkategorikan sesat mereka yang “membuat”, “meyakini”, “mendukung”, “menyebarluaskan” atau “menjalankan” aliran, paham/pemikiran yang tidak sesuai dengan yang disyari’atkan Allah dan yang telah dicontohkan oleh Rasululllah saw.

Meneladani Rasulullah

Di akhir zaman ini di berbagai belahan dunia --tak terkecuali di negara kita-- telah banyak bermunculan dan berkembang berbagai agama, aliran, ajaran, paham dan pemikiran baru baik yang mengatasnamakan Islam maupun yang tidak. Mereka mengaku Islam, mereka mengaku beriman, namun sesungguhnya mereka mempersekutukan Allah dengan yang lain.

Untuk itu umat Islam beriman yang hidup di akhir zaman ini harus ekstra hati-hati dan waspada. Setiap komponen umat mulai dari pemimpin negara, pemimpin umat Islam, pemimpin rumah tangga hingga pemimpin diri sendiri wajib menjaga dan menyelamatkan iman dan aqidah diri mereka sendiri dan semua anggota yang menjadi tanggung jawab mereka.

Kita harus berhati-hati dengan virus-virus keyakinan, virus pemikiran, virus pemahaman yang seolah-olah Islam, padahal sesungguhnya sangat dibenci Allah, layaknya kaum Yahudi.
Allah mengingatkan sangat keras orang-orang yang “sok” seperti ini;

“Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka!” (QS.Al-Baqarah[2]:175)

Karenanya, mumpung keluarga kita, sanak-famili kita, anak, istri, menantu, tetangga kita terserang virus ini, marilah senantiasa mengawal kehidupan kita dengan doa.

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah [1]:5)

Jika ada niat, caranya sangat mudah. Marilah kita teladani Rasulullah saw beserta para Sahabat beliau. Jika ada perintah, kerjakanlah. Namun ada larangan, maka tinggalkanlah. Beragama, beribadah tak bisa dikarang, dinalar atau mengandalkan akal. Apalagi mengikuti langkah-langkah kaum Yahudi dan Nashara baik dalam pola pikir, pemahaman, gaya hidup, perasaan, bahkan menyangkut hal-hal kecil lainnya. Apalagi masalah beragama dan beribadah.

Jangan malu untuk bertanya, apakah yang kita lakukan ini dimurkai Allah dan Rasulnya? Bertanyakah dan ikutilah cara Nabi kita, di semua aspek kehidupan kita. Bahkan soal mengurus suami-istri, mengurus anak sampai urusan mandi sekalipun. Sebab tak ada contoh hidup yang terbaik di dunia ini, kecuali akhlaq Nabi kita Muhammad saw.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al-Ahzab [33]:21-22).

Semoga dengan meneladani beliau, semua keluarga kita terhidandar dari kesesatan yang sangat dibenci Allah.*

Penulis kolumnis hidayatullah.com sedang menempuh program Master Ulumul Qur’an di IIUM (International Islamic University Malaysia)]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar