Senin, 27 Juni 2011

Waspada Ancaman Tren Penyakit Mematikan, Leptospirosis


Tikus, salah satu penyebar penyakit Leptospirosis. Berdasar penelitian di Bantul, pola penyebaran leptospirosis berada di alur irigasi dan sungai-sungai kecil di persawahan. Air di lokasi itu mengandung bakteri Leptospirosa sp yang berasal dari inang penular, seperti tikus atau sapi yang terjangkit leptospirosis. (foto: Google)

 YOGYAKARTA (Berita SuaraMedia) - Petani di sejumlah wilayah DI Yogyakarta belum banyak mengetahui penyakit leptospirosis dan bahayanya. Padahal, penyakit yang sedang merebak itu mengancam para petani.


Dinas Kesehatan DI Yogyakarta mencatat, tahun 2011 terdapat 106 kasus leptospirosis di Kabupaten Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta. Sebanyak 14 orang di antaranya meninggal dan 90 persennya petani.

Boiran (56), petani Desa Gejawan Wetan, Kecamatan Gamping, Sleman, pekan lalu, mengaku tak tahu penyakit leptospirosis. Pemerintah belum pernah menyosialisasikan penyakit itu.

”Yang kerap datang justru petugas penyuluh lapangan. Mereka tak berbicara soal penyakit itu, tetapi upaya memberantas hama dan penyakit tanaman, salah satunya pemberantasan tikus,” kata Boiran.

Taryono (52), petani Desa Jatisarono, Kecamatan Nanggulan, Kulon Progo, mengatakan, pemerintah desa memang meminta setiap warga mewaspadai penyakit akibat urine tikus. Namun, banyak yang belum tahu jelas gejala dan dampaknya.

”Kami hanya diimbau kalau terjadi panas tinggi dan sakit kepala, segera ke puskesmas. Kami juga diminta membasmi tikus di sawah,” kata Taryono.

Secara terpisah, Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Hari Kusnanto mengatakan, berdasar penelitian di Bantul, pola penyebaran leptospirosis berada di alur irigasi dan sungai-sungai kecil di persawahan. Air di lokasi itu mengandung bakteri Leptospirosa sp yang berasal dari inang penular, seperti tikus atau sapi yang terjangkit leptospirosis.

”Agar tren penyakit itu tidak meningkat, masyarakat perlu menekan laju populasi tikus dan kembali mempraktikkan teknik-teknik kesehatan dasar. Jangan remehkan penyakit itu karena dapat mengakibatkan pendarahan paru-paru, gagal ginjal, dan lever,” kata Hari.

Dinas kesehatan diharap tak hanya fokus mengobati dan mencegah leptospirosis. Koordinasi dengan dinas peternakan atau dokter hewan pun perlu.

Tahun ini, kasus terbanyak terjadi di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Nanggulan 12 kasus, Sentolo 12 kasus, Samigaluh 10 kasus, dan Kokap 10 kasus. Sebagian besar warga yang terjangkit adalah petani dan peternak.

Menurut Baning, untuk mengatasi itu, pihaknya menyosialisasikan penanganan dan pencegahan penyakit leptospirosis ke sejumlah desa. Dinkes juga melakukan penyelidikan epidemis di sekitar tempat terjadinya kasus.

Untuk mengetahui penularnya, dinkes melakukan penelitian bersama tiga lembaga, yaitu Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Yogyakarta, Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara, serta Balai Penelitian Reservoir dan Vector Salatiga.

”Penelitian masih berlangsung. Hasilnya belum bisa diketahui. Kami menduga bakteri berasal dari urine tikus,” katanya.

Kepala Puskesmas Kecamatan Nanggulan Sajarwadi mengemukakan, tahun 2010 di Nanggulan ada lima kasus leptospirosis. Dua penderitanya meninggal. Pada Januari-pertengahan Maret 2011 terdapat 12 kasus dan satu orang meninggal.

”Mereka yang meninggal akibat penyakit itu tidak mempunyai riwayat penyakit bawaan. Mereka kebanyakan terserang ginjal dan hati,” katanya.

Kepala Dinkes Provinsi DI Yogyakarta Sarminto mengakui, leptospirosis marak di Yogyakarta terutama di Kabupaten Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Sleman. Di Yogyakarta, sepanjang Januari-pertengahan Maret 2011 ada 106 kasus dan 13 penderita meninggal. (fn/k2m) www.suaramedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar