Selasa, 12 Juli 2011

Faedah Mengetahui Asbaabun-Nuzuul



Mengetahui asbaabun-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an) merupakan hal yang sangat penting, karena mengandung beberapa faedah. Diantaranya :

1. Menjelaskan bahwa Al-Qur’an benar-benar turun dari Allah ta’ala
Hal ini dapat dilihat bahwa terkadang Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam jika ditanya tentang suatu masalah, beliau terdiam dan tidak menjawab pertanyaan itu sampai turun wahyu kepadanya, atau beliau sedang menghadapi suatu permasalahan, kemudian turun wahyu kepada beliau sebagai penjelas atas hal tersebut.

Contoh Pertama :
Firman Allah ta’ala :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرّوحِ قُلِ الرّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبّي وَمَآ أُوتِيتُم مّن الْعِلْمِ إِلاّ قَلِيلاً
Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,”Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al-Israa’ : 85).
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwa seorang laki-laki dari kalangan Yahudi berkata,”Wahai Abul-Qasim – nama panggilan untuk Rasulullah – apa ruh itu?”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam diam tidak menjawab pertanyaan itu. [Dalam suatu lafadh disebutkan] : Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menahan diri dan tidak menjelaskan sesuatupun kepada mereka. Aku (Ibnu Mas’ud) tahu bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sedang menerima wahyu, kemudian aku berdiri di tempatku. Ketika wahyu turun beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau berkata :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرّوحِ قُلِ الرّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبّي وَمَآ أُوتِيتُم مّن الْعِلْمِ إِلاّ قَلِيلاً
“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,”Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al-Israa’ : 85).

Contoh Kedua :
Firman Allah ta’ala :
يَقُولُونَ لَئِن رّجَعْنَآ إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنّ الأعَزّ مِنْهَا الأذَلّ
“Mereka berkata : “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir yang lemah daripadanya” (QS. Al-Munaafiquun : 8).
Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Zaid bin Arqam radliyallaahu ‘anhu mendengar Abdullah bin ‘Ubay bin Salul, seorang pemimpin dari golongan munafik, mengatakan bahwa menurut ayat di atas, yang dimaksud dengan orang yang lebih mulia adalah dia. Sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya adalah orang yang lebih hina. Maka Zaid mengkhabarkan hal itu kepada pamannya, kemudian sang paman mengkhabarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggil Zaid, kemudian dia (Zaid) mengkhabarkan apa-apa yang dia dengan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam datang kepada Abdullah bin ‘Ubay dan para shahabatnya, maka mereka bersumpah bahwa mereka tidak mengatakan hal itu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pun mempercayai mereka. Maka Allah ta’ala menurunkan wahyu sebagai bentuk pembenaran kepada Zaid seperti yang tersebut dalam ayat ini, sehingga jelaslah urusan tersebut bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

2. Sebagai bukti pertolongan Allah ta’ala dan pembelaan atas Rasul-Nya
Contoh tentang hal itu tersebut dalam firman Allah ta’ala :
وَقَالَ الّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلاَ نُزّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتّلْنَاهُ تَرْتِيلاً
“Berkatalah orang-orang kafir : “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)” (QS. Al-Furqaan : 32).
Begitu pula dengan ayat-ayat Al-Ifk (berita dusta), sesungguhnya ayat-ayat tersebut merupakan pembelaan terhadap tempat tidur (istri – yaitu ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha) Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan pensucian atas dirinya dari kebohongan para pendusta. (Baca kisah tentang masalah ini dalam QS. An-Nuur : 11-26).

3. Sebagai bukti pertolongan Allah ta’ala kepada hamba-Nya, dengan melapangkan kesusahan dan menghilangkan kesedihan mereka
Contoh yang berkenaan dengan hal ini terdapat dalam ayat tentang tayamum. Tersebut dalam kitab Shahih Bukhari bahwa kalung milik ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha hilang, ketika itu ia sedang ikut dalam perjalanan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka, Nabi pun mencarinya. Dan orang-orang ketika itu tidak menemukan air dimana mereka kemudian mengadukan hal itu kepada Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu. Disebutkan dalam hadits bahwa kemudian turunlah ayat tentang tayamum. Maka mereka pun melakukan tayamum. Berkata ‘Usaid bin Hudlair,”Ini bukanlah barakah kalian yang pertama kalinya wahai keluarga Abu Bakar”. Hadits ini terdapat dalam Shahih Bukhari dengan lafadh yang panjang.

4. Memahami ayat dengan pemahaman yang benar
Contoh tentang hal ini terdapat dalam firman Allah ta’ala :
إِنّ الصّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللّهِ فَمَنْ حَجّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطّوّفَ بِهِمَا
”Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya” (Al Baqarah :158)
Sesungguhnya melihat teks ayat فَلاَ جُنَاحَ ( “maka tidak ada dosa baginya” ) menunjukkan bahwa hakikat perintah mengerjakan sa’i antara Shafa dan Marwah hanyalah perintah yang bersifat mubah saja.
Dalam kitab Shahih Bukhari dari ‘Ashim bin Sulaiman dia berkata : “Saya bertanya kepada Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu tentang Shafa dan Marwah”. Anas menjawab : “Kami berpendapat bahwa keduanya termasuk perkara jahiliyyah. Maka setelah datang Islam, kami lestarikan atas keduanya”. Kemudian Allah ta’ala menurunkan firman-Nya : إِنّ الصّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللّهِ ”Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah” sampai dengan firman-Nya : أَن يَطّوّفَ بِهِمَا ”mengerjakan sa’i antara keduanya”.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa peniadaan dosa di sini bukan berarti sebagai penjelasan tentang asal hukum sa’i, tetapi yang dimaksudkan adalah peniadaan atas keberatan mereka atau anggapan bahwa hal itu dosa, sehingga mereka menahan diri dari mengerjakan sa’i antara keduanya. Karena sebelumnya mereka berpendapat bahwa keduanya termasuk perkara jahiliyyah. Adapun asal hukum sa’i, maka telah jelas dengan firman Allah مِن شَعَآئِرِ اللّهِ ”Termasuk sebagian syi’ar-syi’ar Allah”.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar