
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Saudaraku,  kaum muslimin! Bulan Rajab telah berlalu meninggalkan kita. Sya'ban  telah datang menggantikannya. Sedangkan Ramadhan sudah berada di depan  menunggu giliran. Maka sungguh beruntung orang yang mengisi hidupnya  untuk beribadah terutama pada bulan-bulan yang mulia. Terus beristi'dad  (bersiap diri) menyambut bulan penuh berkah dan pahala besar dengan  puasa dan amal shalih lainnya.
Pada  dasarnya seluruh bulan, tahun, siang dan malam, semuanya adalah waktu  untuk beribadah dan beramal shalih. Sementara takdir dan ajal kematian  tetap berjalan pada waktu-waktu tersebut. Hanya saja takdir dan ajal  bagi masing-masing insan tak ada yang tahu kecuali Dzat Yang  menetapkannya. Maka orang beruntung adalah yang memperhatikan siang dan  malamnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan amal shalih.  Harapannya, semoga saat ajal datang menjemput ia menjadi orang beruntung  yang menutup umurnya dengan husnul khatimah. Sehingga ia aman dari  siksa kubur dan selamat dari jilatan api neraka di akhriat. Dan  sesungguhnya Allah tidak menjadikan perintah beramal bagi seseorang usai  dan berhenti kecuali dengan kematian.
Allah Ta'ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ 
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS. al-Hijr: 99)
Dan Allah tetap memerintahkan beramal selama mereka masih berada di negeri taklif, dunia. Allah Ta'ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. Al-Dzariyat: 56)
Setiap  kesibukan yang dilakoni seseorang yang kosong dari ketaatan kepada Allah  dan tidak mendapat ridha-Nya, maka itu kegiatan yang merugi. Dan setiap  waktu yang diisi dengan kegiatan yang kosong dari dzikrullah dan  mengingat hari akhirat maka akan menjadi penyesalan baginya pada hari  kiamat. Maka manusia terbaik adalah yang panjang umurnya dan bagus  amalnya. Sebaliknya, manusia terburuk adalah orang yang panjang umurnya  namun buruk amalnya.
. . Maka orang beruntung adalah yang memperhatikan siang dan malamnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan amal shalih. Harapannya, semoga saat ajal datang menjemput ia menjadi orang beruntung yang menutup umurnya dengan husnul khatimah.
Sya'ban Bulan yang Sering Dilalaikan   
Pada  bulan Sya'ban, umumnya, umat Islam sibuk dengan persiapan-persiapan  menyambut Ramadlan. Tetapi seringnya, persiapan itu berkisar hanya  masalah materi. Bagi pedagang, mereka sibuk menyiapkan stok untuk  menghadapi gebyar Ramadlan, yang biasanya sangat ramai. Bagi panitia  pengajian, sibuk mengadakan acara-acara penutupan pengajian, biasanya  diisi dengan makan-makan atau rekreasi bareng. Di sebagian daerah malah  ada yang mengadakan lebih buruk dari itu, yaitu padosan (mandi  bareng) yang terkonsentrasi di satu sungai, sumber air, sumur keramat  atau tempat lainnya yang di situ berkumpul laki-laki dan perempuan.  Mereka menyambut Ramadhan dengan kemaksiatan, khurafat, dan keyakinan  yang tak berdasar.
Ada juga  kesimpulan konyol dari sebagian masyarakat yang menjadikan Sya’ban  sebagai bulan pelampiasan. Karena mumpung belum Ramadhan, mereka  puas-puaskan berbuat maksiat, “Mumpung belum Ramadhan. Nanti kalau sudah  Ramadhan, puasa kita bisa tidak sah”, kalimat terkadang mampir ke  telinga kita.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ 
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan.” (HR. Al Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnul Hajar rahimahullah  berkata: "Dinamakan Sya'ban karena kesibukan mereka mencari air atau  sumur setelah berlalunya bulan Rajab yang mulia, dan dikatakan juga  selain itu." (al-Fath: 4/251)
Faidah Beribadah Saat Banyak Orang Lalai
Dari sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  di atas menunjukkan tentang anjuran mengerjakan ketaatan dan amal  ibadah pada waktu-waktu yang dilalaikan orang sebagaimana qiyamul lail  (shalat tahajjud), shalat dhuha saat matahari mendekati pertengahan  (shalat awwabin), berdzikir di pasar, dan semisalnya.
Ibnu Rajab rahimahullah  mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya  melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang  dicintai di sisi Allah.” (Lathaif Al Ma’arif, 235)
Beribadah  pada saat-saat yang banyak dilalaikan orang akan lebih ikhlas sehingga  pahalanya semakin besar. Karena beribadah di saat itu akan lebih berat  dirasakan oleh jiwa, karena biasanya jiwa kita ini akan terpengaruh  dengan apa yang dilihatnya. Maka apabila banyak orang yang lalai, maka  akan semakin berat bagi jiwa untuk menjalankan ketaatan. Oleh sebab itu,  secara umum, meningkatkan ibadah pada bulan Sya'ban dan menjaga diri  dari ikut-ikutan manusia yang memanfaatkan aji mumpung sebelum Ramadhan  adalah sesuatu yang berat. Karenanya, maukah kita menjadi orang yang  istimewa di bulan in?
Beribadah pada saat-saat yang banyak dilalaikan orang akan lebih ikhlas sehingga pahalanya semakin besar. Karena beribadah di saat itu akan lebih berat dirasakan oleh jiwa, karena biasanya jiwa kita ini akan terpengaruh dengan apa yang dilihatnya.
Petunjuk Menghidupkan Sya'ban
Dalam  memuliakan Sya'ban dianjurkan melaksanakan ketaatan dan amal ibadah yang  telah disyariatkan secara umum, seperti qiyamullail, shalat sunnah  rawatib,  membaca al-Qur'an, bersedekah dan lainnya. Namun ada satu amal  yang mendapat perhatian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  secara khusus. Beliau menghidupkan Sya'ban dengan memperbanyak puasa,  hamper seluruhnya. Sehingga terjadi perbincangan serius di kalangan  ulama tentang puasa penuh di bulan Sya'ban.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'Anhuma,  beliau berkata, “Wahai Rasulullah! aku tidak pernah melihatmu berpuasa  pada satu bulan dari bulan-bulan yang ada sebagaimana puasamu pada bulan  Sya’ban.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ  شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ  تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ  يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan  Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan  Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai  amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku  amat suka saat amalanku dinaikkan aku dalam kondisi berpuasa.” (HR. Al Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
كَانَ  رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ  يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ  رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ  رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak pernah berbuka  (tidak puasa). Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak  pernah berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku  pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada  berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
لَمْ  يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ  شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa  Sya'ban semuanya kecuali hanya sedikit hari saja (sedikit hari yang  beliau tidak berpuasa padanya).” (HR. Muslim no. 1156)
Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan, “Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Maksud Berpuasa Pada Sya'ban Seluruhnya
Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)? Imam Asy Syaukani rahimahullah menjawab  hal ini, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan  bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah  kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At  Tirmidzi dari Ibnul Mubarok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa  Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan  dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Authar, 7/148). Jadi,  yang dimaksud Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.
. . . Jadi, yang dimaksud Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya. . .
Kenapa Nabi Tidak Puasa Penuh di Bulan Sya'ban?
An Nawawi rahimahullah menuturkan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan  agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ” (Syarh Muslim,  4/161)
Di antara rahasia kenapa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah  ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib).  Sebagaimana shalat sunnah rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan  karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah  puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa  Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa  menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathaif Al Ma’arif,  Ibnu Rajab, 233)
. . rahasia kenapa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib. Sebagaimana shalat sunnah rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban.
Mari kita muliakan Sya'ban dengan semestinya dan jangan melalaikannya dari ibadah dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Khususnya, bagi saudari-saudariku, kaum muslimah, yang masih mempunyai  hutang puasa di tahun lalu, hendaknya segera dilunasi hutang tersebut.  Wallahu Ta'ala a'lam. [PurWD/voa-islam.com]
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar