Sesuatu yang paling layak untuk dihafal adalah Al-Quran, ia merupakan  firman Allah, pedoman hidup umat Islam, sumber dari segala sumber  hukum, dan bacaan yang paling sering diulang-ulang oleh umat muslim.  Mahasiswa  sebagai calon intelektual muslim hendaknya meletakkan hafalan  Al-Quran  sebagai prioritas kegiatannya. 
Inilah intisari dari pemikiran  Imam  Yahya bun Syaraf An-Nawawi dalam kitab “Al-Majmu”:
“ Hal Pertama ( yang harus  diperhatikan oleh seorang penuntut  ilmu ) adalah menghafal Al Quran,  karena ia adalah ilmu yang terpenting,  bahkan para ulama salaf tidak  akan mengajarkan hadis dan fiqh kecuali  bagi siapa yang telah hafal Al  Quran. Kalau sudah hafal Al Quran,  berhati-hatilah dalam menyibukkan  diri mempelajari hadis dan fiqh atau  pelajaran lainnya, yakni kesibukan  yang bisa menyebabkan hilangnya  sebagian hafalan Al Quran atau  beerpotensi lupa. “ Imam Nawawi,  Al Majmu’,( Beirut, Dar Al Fikri, 1996 ) Cet. Pertama, Juz : I, hal :  66
Faktanya tidak semua orang yang memiliki  niat untuk menghafalkan  al-Quran mampu merealisasikan niatnya, juga  tidak semua orang yang  menghafal bisa tuntas sampai 30 juz, dan tidak  semua orang yang hafal 30  juz mampu membaca “bil ghaib” dengan lancar  dan baik. Demikian juga,  tidak semua hafidz diberikan karunia untuk  menjadikan hafalannya sebagai  dzikir yang selalu dilantunkannya secara  istiqamah sampai akhir  hayatnya. Untuk itul, perlu kiranya seorang  mahasiswa melakukan  pengaturan (manajemen) secara sistematis, agar  target yang direncanakan  bisa tercapai.
A. Manajemen niat
Bagi mereka yang pernah menghafal, baik  hingga selesai maupun  berhenti di tengah perjalanan, pasti mempunyai  motivasi-motivasi  tertentu, atau paling tidak, ada mitos-mitos yang  menggerakkan hati dan  pikiran untuk menghafal. Adakalanya mereka  termotivasi oleh adanya  pemuliaan, penghormatan dari masyarakat,  kemudian tergerak hatinya untuk  meraih ‘prestise’ tersebut. Atau juga  karena tergiur dengan predikat  sebagai calon penghuni surga yang kelak  bila meninggal jasadnya akan  tetap utuh. Bisa juga termotivasi oleh  hidup “glamour”nya para hafidz  yang sering mendapatkan job “khataman”  serta pulang dengan membawa berkat dan amplop tebal.
Patut disyukuri memang, gara-gara  motivasi dan mitos di  atas, banyak dari mereka yang akhirnya bisa  hafal al-Quran dengan baik.  Hanya saja, secara normatif-etis  mitos-mitos itu jelas tidak bisa  dibenarkan secara aqidah sebab lebih  mendahulukan li ajlin naas-nya  daripada li ajlillaah. Ini berbahaya, al-Quran yang semestinya  sebagai al-huda, al-furqan, adz-dzikr telah dimanipulasi  menjadi sumber penghasilan (ma’isyah),  atau sebagai wahana  unjuk kehebatan dan kesalehan. Biarlah, yang sudah  terjadi biarlah  berlalu, selanjutnya ditata kembali  dengan niat yang  lebih ikhlas.
Sebenarnya yang paling esensi dari  al-Quran adalah pesan yang  dikandungnya. Ibarat secarik kertas yang  berisi route perjalanan bagi  seorang musafir. Kalau kertas tersebut  hanya dibaca keras dan tidak  berusaha difahami isinya, sangat mungkin  orang itu akan tersesat.  Demikian halnya seorang muslim yang hanya  menjadikan al-Quran sebagai  mantra, jimat, ornamen, dan tidak  memposisikannya sebagai pesan ilahi,  oleh Allah ia laksana keledai yang  dipundaknya dipenuhi buku-buku, kamatsalil  himar yahmilu ashfara.
Konsekuensi dari motivasi yang salah tersebut, sering seorang hafidz  itu menonjolkan performance  inklusif agar dimuliakan orang lain  atau dia enggan bekerja ‘kasar’  sebagaimana orang kebanyakan, khawatir  akan menurunkan kredibilitas  kehafidzannya. Lebih-lebih lagi, na’udzubillah,  ada hafidz yang mempromosikan diri supaya diundang khataman, sambil  melakukannya dengan bacaan hadr (super cepat) dan membayangkan  berapa honor yang akan diterimanya. Bisa jadi, akhirnya dia pulang  menggerutu,  bila ternyata bisyarah  yang diterimanya lebih  kecil dari yang terbayang. Tidak sedikit pula,  hafidz yang ‘malas’  memahami isi kandungan al-Quran, bahkan isi  surat-surat pendek pun tidak  tahu artinya, meski sudah hafal puluhan  tahun.
Hendaknya yang dijadikan target utama dari menghafal adalah  kemamampuan memahami al-Quran. Kompetensi hafalan merupakan wasilah  (media) efektif untuk lebih memahami al-Quran secara holistik   (menyeluruh). Tidak sebaliknya, sesuatu yang semestinya sebagai media   dijadikan tujuan (ghayah).
Lalu mengapa al-Quran itu dihafal? Untuk  meluruskan penyelewengan  motivasi di atas, berikut ini disajikan  motivasi-motivasi (bukan mitos)  menghafal, berdasarkan al-Quran dan  Sunnah Nabi disertai argumentasi  rasional yang logis.
1. Al-Qur’an sebagai pemberi syafa’at pada hari kiamat bagi  yang membaca, memahami dan mengamalkannya.
Bacalah al-Quran karena kelak ia akan menjadi penolong bagi  pembacanya
2. Al-Qur’an menjadi hujjah (pembela) bagi pembacanya dan  sebagai pelindung dari azab dunia dan akherat.
Dan al-Quran merupakan hujjah atau pembelamu kelak
3. Pembaca al-Qur’an, khususnya  penghafal al-Quran yang kualitas dan  kuantitas bacaannya lebih tinggi,  akan bersama malaikat dan selalu  melindunginya dan mengajak pada  kebaikan.
Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Quran dan menjaganya,  akan ditemani para malaikat yang mulia dan baik
4. Penghafal al-Qur’an akan mendapatkan  fasilitas khusus dari Allah,  yaitu terkabulkannya segala harapan tanpa  harus memohon/berdoa.
Allah berfirman (dalam Hadis Qudsi:  Barang siapa yang disibukkan  oleh al-Quran dan mengingat Allah sehingga  lupa memohon, maka aku akan  memberinya sesuatu yang terbaik
5. Penghafal al-Qur’an yang membiasakan mujawwad atau murattal akan ditinggikan derajatnya di sisi Allah dan menempati posisi  tertinggi di surga nanti.
Dikatakan pada pembaca al-Quran,  bacalah, naiklah dan  tartilkanlah bacaanmu sebagaimana engakau  mentartilkan di dunia, karena  kedudukanmu di surga sesuai dengan ayat  terakhir yang engkau baca
6. Penghafal al-Qur’an berhak untuk diprioritaskan menjadi imam atau  pemimpin, bahkan sampai ia mati kelak.
Yang berhak menjadi imam shalat  adalah orang yang paling baik  bacaannya (banyak hafalannya) (HR.  Muslim), Rasulullah pernah  mengumpulkan dua korban perang Uhud dalam  satu kain kafan, lalu berkata:  siapa dari keduanya yang paling banyak  hafalannya? Setelah ditunjukkan,  beliau mendahulukannya untuk  dimasukkan di liang lahat (HR Bukhari).
7. Penghafal al-Qur’an paling layak untuk menjadi teladan atau idola.
Tidaklah hasud dibolehkan kecuali  pada dua orang; (1) orang yang  dikarunia kemampuan al-Quran dan  membacanya sambil qiyamul lail dan (2)  orang yang dikarunia harta lalu  dia bersedekahsiang dan malam (HR.  Bukhari), Diantara wujud pengagungan  pada Allah adalah memuliakan orang  tua muslim dan penghafal al-Quran  yang tidak melampaui batas serta  memuliakan raja yang adil (HR. Abu  Dawud)
8. Penghafal al-Qur’an, berpotensi untuk mendapatkan pahala yang  banyak.
Barang siapa membaca satu huruf dari  al-Quran maka dia  mendapatkan satu kebaikan dan satu kebaikan bernilai  10 kebaikan,  seperti alim lam mim masing-masing bernilai 10 kebaikan.
9.  Penghafal al-Qur’an bisa membaca dan  memahami al-Qur’an di  manapun dan dalam situasi apapun, dia tidak  selalu tergantung dengan  mushaf, tempat, waktu, dan posisi tertentu,  sehingga di kantor, di  kendaraan, di pasar, bahkan sambil tiduran pun  ia bisa membaca dan  memahami al-Quran. Juga aktivitas otak yang tidak  terganggu oleh  konsentrasi melihat (mushaf), semakin mudah melakukan tadabburdengan  al-Quran.
10. Penghafal al-Qur’an punya daya nalar argumentatif yang  komprehensif dan mendalam. Sebagai al-huda  (petunjuk),  al-Qur’an sarat dengan nilai-nilai moral, kebenaran  ilmiah, inspirasi  untuk berkreasi, terutama dalil-dalil hukum Islam.   Dengan demikian, dia  sangat lihai mengulas maksud dari sebuah ayat, dan  mensintesiskan ayat  dengan teori serta mengelaborasikan korelasi antar  ayat.
11. Menghafalkan al-Qur’an hukumnya  wajib kifayah, menurut Imam  Zarkasyi, Assuyuthi dll, sebab ia bisa  menjaga Al-Quran dari kesalahan  bacaan dan penulisan,  sehingga  orisinalitas Al-Quran tetap terjaga dari  berbagai upaya tahrif  (pemalsuan, perubahan). Jadi, keberadaan  penghafal al-Quran adalah  sebagai penggugur kewajiban dan dosa umat  muslim di kawasan tertentu.
12. Penghafal al-Qur’an menghabiskan  sebagian besar waktunya  (umurnya) untuk mempelajari dan mengajarkan  sesuatu yang bermanfaat dan  bernilai ibadah, hal itu menjadikan  hidupnya penuh keberkahan dan Allah  memposisikannya sebagai manusia  terbaik.
Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan  al-Quran
13. Penghafal al-Qur’an dijaga dari  godaan nafsu, sebab kesibukan  dzikir pada Allah (termasuk baca  al-Quran) akan menghalangi syetan untuk  menguasai nafsunya.
Barang siapa lalai dari ingat Allah, akan kami kuasakan atasnya  syaitan yang menemaninya
14. Penghafal al-Qur’an termasuk dalam  tujuh golongan yang diberi  naungan Allah ketika tidak ada lagi tempat  bernaung di akherat dari  dahsyatnya panas neraka.
Tujuh golongan yang akan mendapatkan  naungan Allah, (diantaranya)  pemuda yang tumbuh besar dalam suasana  ibadah pada Allah dan seorang  laki-laki yang hatinya selalu bergantung  pada masjid.
15. Penghafal al-Qur’an adalah manusia pilihan Allah yang akan  dititipi ilmu di dadanya.
Bahkan al-Quran merupakan kemukjizatan yang nyata yang dititipkan  Allah di dada orang yang berilmu
16. Membaca al-Qur’an merupakan obat stress, depresi dan lain-lain.
Barang siapa yang berpaling dari  mengingat aku, maka kehidupannya  akan sempit dan kami kumpulkan di hari  kiamat dalam keadaan buta
Orang-orang yang beriman dan hati  mereka menjadi tenang dengan  mengingat Allah, ingatlah bahwa dengan  mengingat Allah hati menjadi  tenang
17. Penghafal al-Qur’an selalu berlatih  untuk kerja keras dan  disiplin. Menghafal al-Quran butuh kerja keras,  disiplin, istiqamah  selama satu tahun lebih, kebiasaan disiplin dan  konsisten ini menjadi  modal penting dalam menggapai kesuksesan hidup.
18. Al-Qur’an mudah dihafal oleh orang tua, muda, anak-anak dan  oleh  orang yang tidak faham bahasa Arab sekalipun.
Dan sungguh kami mudahkan al-Quran untuk diingat adakah orang  yang mau mengingat?
Jadi, pertama kali yang harus  diperhatikan oleh orang yang ingin  menghafal Al-Quran adalah  mengikhlaskan niatnya hanya untuk Allah  semata. Dengan niat ikhlas,  Allah akan membantu menjauhkan kita dari  rasa malas dan bosan. Suatu  pekerjaan yang diniatkan ikhlas, biasanya  akan terus berlangsung.  Berbeda kalau niatnya hanya untuk mengejar  materi atau hanya ingin  ikut musabaqah, atau karena hal lain.  Hendaknya ia melakukan  shalat Hajat dengan memohon kepada Allah agar  dimudahkan dalam  menghafal Al-Quran. Waktu shalat hajat ini tidak  ditentukan dan  doa’anya pun diserahkan kepada masing-masing pribadi. 
Hal  ini  sebagaimana diriwayat Hudzaifah ra, yang berkata :
“ Bahwasanya Rasulullah saw jika ditimpa suatu masalah beliau  langsung mengerjakan shalat. “
Memperbanyak do’a untuk menghafal  Al-Quran. Do’a ini memang tidak  terdapat dalam hadis, akan tetapi  seorang muslim boleh berdo’a menurut  kemampuan dan bahasanya  masing-masing. Mungkin anda berdo’a seperti ini :
“ Ya Allah berikanlah kepadaku  taufik untuk menghafal Al-Quran,  dan berilah aku kekuatan untuk terus  membacanya siang dan malam sesuai  dengan ridha dan tuntunan-Mu, wahai  Yang Maha Pengasih “.
B. Manajemen waktu
Pilihlah waktu yang tepat untuk  menghafal, dan ini tergantung kepada  peribadi masing-masing. Akan  tetapi dalam suatu hadis yang diriwayatkan  oleh Abu Hurairah ra,  disebutkan bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
“ Sesungguhnya agama ini mudah, dan  tidak ada yang mempersulit  diri dalam agama ini kecuali dia akan  sampai, makanya amalkan agama ini  dengan benar, perlahan-lahan, dan  berilah kabar gembira, serta gunakan  waktu pagi, siang dan malam (untuk  mengerjakannya) “ ( HR Bukhari ) 
Umumnya, orang yang menghafalkan al-Quran di pesantren-pesantren  menghabiskan waktu  3-4 tahun dengan program takhashshus (tahfidz   intensif/sebagian besar waktunya untuk menghafal). Sebenarnya, kalau   seseorang mampu mengatur waktu dengan baik, pasti akan jauh lebih cepat   dari waktu tersebut. Misalnya, dalam sehari dia menambah hafalan dua   halaman, maka dalam kurun waktu sepuluh bulan (atau max. 12 bulan) sudah   tuntas 30 juz. Atau paling tidak setengah halaman perhari, maka dalam   waktu 40 bulan (3 tahun 4 bulan atau max. 4 tahun). Tentu, dengan  syarat  setiap waktu terbuang harus diganti atau dirangkap tanpa  kompromi.
Untuk konteks mahasiswa, pengaturan waktu memang lebih rumit  dibanding dengan peserta program takhashshus di  pesantren.  Mahasiswa memiliki beban ganda yang berat. Terkait dengan  perkuliahan,  dia harus mempersiapkan matakuliah setiap hari (min. 1  jam), mengikuti  perkuliahan (rata-rata 4 jam sehari selama 5 hari),  mempersiapkan ujian  UTS, UAS, kuis (min. 2 jam), menyelesaikan tugas  membuat makalah  individu atau kelompok (min. 5 jam). Berikut ini  gambaran perbandingan  kegiatan harian antara mahasiswa tahfidz dan  mahasiswa bukan tahfidz:
Tabel 1: Alokasi Ideal Waktu Mahasiswa non Tahfidz dalam 24  Jam
| Kegiatan | Alokasi waktu | Prosentase | 
| Persiapan materi kuliah, ujian dsb | 2 jam | 8,3 % | 
| Mengikuti perkuliahan, seminar dsb | 4 jam | 16, 6 % | 
| Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb | 1 jam | 4,1 % | 
| Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb | 2 jam | 8,3 % | 
| Istirahat, sholat, makan dsb | 3 jam | 12,5 % | 
| Tidur | 8 jam | 33 % | 
| Bersih-bersih baju, kamar, kerja bakti dsb | 2 jam | 8,3 % | 
| Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb | 2 jam | 8,3 % | 
| Total | 24 jam | 100 % | 
Tabel di atas menunjukkan relatif  longgarnya waktu mahasiswa untuk  belajar, ibadah, santai dan istirahat.  Dengan alokasi seperti ini saja  mahasiswa yang komitmen dan konsisten  melakukan kegiatan ilmiah dan  diniyah, pasti akan mencapai kesuksesan.
Adapun mereka yang mengambil program  tahfidz penuh (30 juz), minimal  harus menyisihkan waktunya min. 9 jam  perhari dengan perincian sebagai  berikut:
Tabel 2: Durasi Ideal Waktu Mahasiswa Tahfidz
| Kegiatan | Durasi | 
| Penambahan hafalan baru 1 hal | 1 jam | 
| Pengulangan hafalan baru 1/2 juz | 1 jam | 
| Setoran hafalan | 2 jam | 
| Pengulangan harian 3 juz | 2 jam | 
| Latihan fashohah, terjemah, tafsir | 1 jam | 
| Total | 9 jam | 
Setelah waktu untuk tahfidz ditambahkan dalam kegiatan harian, maka  komposisi waktu kegiatan menjadi seperti berikut:
Tabel 3: Alokasi Ideal Waktu Mahasiswa Yang Mengikuti Tahfidz
| Kegiatan | Alokasi waktu | Prosentase | 
| Persiapan materi kuliah, ujian dsb | 1 jam (2-1 jam) | 4,1 % | 
| Mengikuti perkuliahan, seminar dsb | 2 jam (4-2 jam) | 8,3 % | 
| Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb | 1 jam | 4,1 % | 
| Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb | 1 jam (2-1 jam) | 4,1 % | 
| Istirahat, sholat, makan dsb | 2 jam (3-1 jam) | 8,3 % | 
| Tidur | 5 jam (8-3 jam) | 20,8 % | 
| Bersih-bersih baju, kamar, kerja bakti dsb | 2 jam | 8,3 % | 
| Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb | 1 jam (2-1 jam) | 4,1 % | 
| Tahfidz | 9 jam | 37,5 % | 
| Total | 24 jam | 100 % | 
Dari tabel di atas, secara jelas diketahui bahwa mahasiswa yang akan  menghafalkan al-Quran penuh (30 juz) harus siap melakukan riyadlah (latihan lahir batin) dan mujahadah  (sungguh-sungguh) yang  mungkin sangat melelahkan. Tidur yang biasanya  memakan waktu 8 jam dalam  sehari semalam, harus dikurangi menjadi 5  jam. Demikian juga semua  kegiatan yang sifatnya rekreatif, penyaluran  hobbi semaksimal mungkin  dikurangi, apalagi sekadar ngrumpi, ngobrol,  cuci mata dan sebagainya,  mutlak harus ditinggalkan. Ibnu Athaillah  (dalam kitab “Al-Hikam”)  mengingatkan pada para pencari kemuliaan:
” Bagaimana mungkin ada akan mendapatkan hal yang luar biasa bila  anda tidak keluar dari kebiasaan “
Apabila seorang mahasiswa memiliki tekad  kuat untuk menghafal penuh,  maka sebaiknya disusun target secara  sistematis sebagaimana contoh di  bawah ini:
Contoh target program hafalan 30 juz (dari nol) selama 4  tahun kuliah
| Bulan ke | ||||||
| 1-2 | 3-4 | 5-6 | 7-8 | 9-10 | 11-12 | |
| Tahun pertama(semester 1-2) | Fashahah1-10 | Fashahah11-20 | Fashahah21-30 | Tahfidz Juz 1 | Tahfidz Juz 2 | Tahfidz Juz 3 | 
| Tahun kedua(semester 3-4) | Tahfidz Juz 4-5 | Tahfidz Juz 6-7 | Tahfidz Juz 8-9 | Tahfidz Juz 10-11 | Tahfidz Juz 12-13 | Tahfidz Juz 14-15 | 
| Tahun ketiga(semester 5-6) | Tahfidz Juz 16-17 | Tahfidz Juz 18-19 | Tahfidz Juz 20-21 | Tahfidz Juz 22-23 | Tahfidz Juz 24-25 | Tahfidz Juz 26-27 | 
| Tahun keempat(semester 7-8) | Tahfidz Juz 28 | Tahfidz Juz 29 | Tahfidz Juz 30 | Murajaah 1-10 | Murajaah11-20 | Murajaah 21-30 | 
Pada tahun pertama (semester 1 dan 2)  biasanya mahasiswa mendapat  beban matakuliah yang banyak (sekitar 24  sks), belum lagi program  intensif bahasa dan matrikulasi yang padat,  sehingga dirancang enam  bulan pertama (semester 1) mahasiswa hanya  latihan fashahah, tajwid, dan  tanda waqaf saja, mulai juz awal sampai  khatam, kemudian pada semester  kedua mulai menghafal sedikit demi  sedikit, yakni dalam setiap dua bulan  ditargetkan satu juz saja.
Pada tahun kedua ditargetkan satu bulan  satu juz, berarti minimal  perhari harus tambah hafalan satu halaman  sehingga dalam waktu 20 hari  (dengan asumsi satu juz ada 20 halaman  untuk al-Quran pojok mushaf  Madinah atau terbitan menara kudus), sudah  genap satu juz dan sisanya  dipakai untuk melancarkan.
Setelah mahasiswa memasuki semester 7-8,  biasanya mereka sangat  disibukkan oleh program KKN, PPL, penulisan  skripsi. Untuk itu target  hafalan dikurangi dari dua menjadi satu juz  perdua-bulan. Pada enam  bulan terakhir pada tahun keempat, terdapat  sisa waktu yang cukup untuk  menyelesaikan target atau kalau sudah  selesai, mereka harus banyak  melakukan murajaah dengan harapan  dalam setiap dua bulan (dari 6  bulan terakhir) mampu melancarkan  minimal sepuluh juz yang telah  dihafal. Bisa saja, melakukan  pentashihan ke beberapa guru al-Quran di  beberapa pondok pesantren.
Adapun  waktu yang sangat tepat untuk melakukan murajaah  (pengulangan) hafalan adalah waktu ketika sedang mengerjakan   shalat–shalat sunnah, baik di masjid maupun di kamar ma’had/kos. Hal ini   dikarenakan saat shalat seseorang fokus menghadap Allah, dan fokus   inilah yang membantu kita dalam mengulangi hafalan. Berbeda ketika di   luar shalat, seseorang cenderung untuk bosan berada dalam satu posisi,   ia ingin selalu bergerak, kadang matanya melihat kanan atau kiri, atau   akan melihat obyek yang dianggap menarik, atau bahkan temannya akan   menghampirinya dan mengajaknya ngobrol. Berbeda dengan orang yang sedang   shalat, temannya yang punya kepentingan kepadanya-pun terpaksa harus   menunggu hingga shalatnya usai dan tidak berani mendekat.
C. Manajemen strategi/metode
Sebenarnya banyak sekali metode yang  bisa digunakan untuk menghafal  Al-Quran, Masing-masing orang akan  mengambil metode yang sesuai dengan  kondisi masing-masing. Di sini akan  disebutkan dua metode yang sering  dipakai oleh sebagian penghafal, dan  terbukti sangat efektif, yaitu:
Metode Pertama:  Menghafal satu persatu  halaman (menggunakan Mushaf Madinah atau menara  Kudus). Kita membaca  satu halaman yang akan kita hafal sebanyak tiga  atau lima kali secara  benar, setelah itu kita baru mulai menghafalnya.  Setelah hafal satu  halaman, baru kita pindah kepada halaman berikutnya  dengan cara yang  sama. Dan jangan sampai pindah ke halaman berikutnya  kecuali telah  mengulangi halaman-halaman yang sudah kita hafal  sebelumnya.
Metode Kedua :  Menghafal per- ayat , yaitu  membaca satu ayat yang mau kita hafal tiga  atau lima kali secara benar,  setelah itu, kita baru menghafal ayat  tersebut. Setelah selesai, kita  pindah ke ayat berikutnya dengan cara  yang sama, dan begitu seterusnya  sampai satu halaman. Akan tetapi  sebelum pindah ke ayat berikutnya kita  harus mengulangi apa yang sudah  kita hafal dari ayat sebelumnya. Setelah  satu halaman, maka kita  mengulanginya sebagaimana yang telah  diterangkan pada metode pertama.
Sebelum mulai menghafal, hendaknya kita  memperbaiki bacaan Al-Quran  agar sesuai dengan tajwid. 
Perbaikan bacaan  meliputi beberapa hal,  diantaranya :
a) Memperbaiki Makhraj Huruf.
b) Memperbaiki Harakat Huruf .
Untuk menunjang agar bacaan baik, hendaknya hafalan yang ada, kita  melakukantasmi’ (memperdengarkan)  kepada seorang ustadz  Al-Quran, agar beliaau membenarkan bacaan kita  yang salah. Kalau itu  tidak dilakukan, maka mungkin kesalahan yang  timbul akan terus terbawa  dalam hafalan kita tanpa disadari.
Faktor lain yang menguatkan hafalan  adalah menggunakan seluruh panca  indera yang kita miliki. Maksudnya  kita menghafal bukan hanya dengan  mata saja, akan tetapi dengan  membacanya dengan mulut kita, dan kalau  perlu kita lanjutkan dengan  menulisnya ke dalam buku atau papan tulis,  sebagaimana yang diterapkan  di sebagian daerah di Maroko, yakni dengan  menuliskan hafalan di atas  papan kecil yang dipegang oleh murid, setelah  mereka menghafalnya di  luar kepala, baru tulisan tersebut dicuci dengan  air.
Menggunakan satu jenis mushaf Al-Quran  juga dapat menguatkan hafalan.  Jangan sekali-kali pindah dari satu  jenis mushaf kepada yang lain.  Karena mata kita akan ikut menghafal apa  yang kita lihat. Jika kita  melihat satu ayat lebih dari satu posisi,  jelas itu akan mengaburkan  hafalan kita. Masalah ini, sudah dihimbau  oleh penyair dalam tulisannya :
“ Mata akan menghafal apa yang dilihatnya- sebelum telinga- ,  maka pilihlah satu mushaf untuk anda selama hidupmu. “
Ada beberapa model penulisan mushaf,  diantaranya adalah: Mushaf  Madinah atau terkenal dengan Al-Quran pojok,  satu juz dari mushaf ini  terdiri dari 10 lembar, 20 halaman, 8 hizb,  dan setiap halaman dimulai  dengan ayat baru. Mushaf Madinah (Mushaf  Pojok) ini paling banyak  dipakai oleh para pengahafal Al-Quran, banyak  dibagi-bagikan oleh  pemerintah Saudi kepada para jama’ah haji.  Cetakan-cetakan Al-Quran  sekarang merujuk kepada model mushaf seperti  ini. Dan bentuk mushaf  seperti ini paling baik untuk dipakai menghafal  Al-Quran. Ada juga model  lain, seperti mushaf Al-Quran yang dipakai  oleh sebagian orang Mesir,  ada juga mushaf yang dipakai oleh sebagian  orang Pakistan dan India,  bahkan ada model mushaf yang dipakai oleh  sebagian pondok pesantren  tahfidh Al-Quran di Indonesia yang dicetak  oleh Penerbit Menara Kudus.
Faktor lain yang mendukung hafalan  adalah memperhatikan ayat-ayat  yang serupa (mutasyabih). Biasanya  seseorang yang tidak memperhatikan  ayat-ayat yang serupa (mutasyabih),  hafalannya akan tumpang tindih  antara satu dengan lainnya. Ayat yang  ada di juz lima misalnya akan  terbawa ke juz sepuluh. Ayat yang  semestinya ada di surat Al-Ma-idah  akan terbawa ke surat Al-Baqarah,  dan begitu seterusnya.
D. Manajemen istiqamah
Setelah Al-Quran dihafal secara penuh  (30 juz), seringkali seorang  hafidz disibukkan oleh studinya, atau  menikah atau sibuk dengan  pekerjaan, dan tidak lagi mempunyai program  untuk menjaga hafalannya  kembali, sehingga Al-Qur’an yang sudah  dihafalnya beberapa tahun,  akhirnya hanya tinggal kenangan saja. ia  merasa berat untuk  mengembalikan hafalannya lagi.
Yang terpenting dalam hal ini bukanlah  menghafal, karena banyak orang  mampu menghafal Al-Quran dalam waktu  yang sangat singkat, akan tetapi  yang paling penting adalah bagaimana  kita melestarikan hafalan tersebut  agar tetap terus ada dalam dada  kita. Sering diungkapkan bahwa tugas  seorang hafidz adalah menjaga  hafalan.  Istilah “menjaga hafalan” ini  sebenarnya cenderung negatif,  sebab dikesankan bahwa seorang hafidz itu  tugasnya seperti petugas  security (Satpam) yang hanya menjaga tidak  menikmati apa yang  dijaganya. Bayangan yang muncul dibenak masyarakat  umum, bahwa  menghafal al-Quran itu identik dengan menambah beban hidup  menjadi  lebih berat. Saatnya kita rubah istilah tersebut dengan  “melestarikan  hafalan atau menikmati al-Quran”, sehingga tidak dianggap  sebagai  beban, melainkan sebagai sarana hiburan diri.
Di sinilah letak perbedaan antara orang  yang benar-benar istiqamah  dengan orang yang hanya rajin pada awalnya  saja. Karena, untuk  melestarikan hafalan diperlukan kemauan yang kuat  dan istiqamah yang  tinggi. Dia harus meluangkan waktunya setiap hari  untuk mengulangi  hafalannya. Banyak cara untuk menjaga hafalan  Al-Quran, masing-masing  tentunya memilih yang terbaik untuknya.
Mengulangi hafalan perlu dilakukan dalam  shalat lima waktu. Seorang  muslim tentunya tidak pernah meninggalkan  shalat lima waktu, hal ini  hendaknya dimanfaatkan untuk mengulangi  hafalannya. Agar terasa lebih  ringan, hendaknya setiap shalat dibagi  menjadi dua bagian, sebelum  shalat dan sesudahnya. Misalnya, sebelum  shalat: sebelum adzan, dan  waktu antara adzan dan iqamah. Apabila dia  termasuk orang yang rajin ke  masjid, sebaiknya pergi ke masjid sebelum  azan agar waktu untuk  mengulangi hafalannya lebih panjang. Kemudian  setelah shalat, yaitu  setelah membaca dzikir ba’da shalat atau dzikir  pagi pada shalat shubuh  dan setelah dzikir selepas shalat Asar.  Seandainya saja, ia mampu  mengulangi hafalannya sebelum shalat sebanyak  seperempat juz dan sesudah  shalat seperempat juz juga, maka dalam satu  hari dia boleh mengulangi  hafalannya sebanyak dua juz setengah.
Kalau istiqamah seperti ini, maka dia  boleh mengkhatamkan hafalannya  setiap dua belas hari, tanpa menyita  waktunya sama sekali. Kalau dia  mampu menyempurnakan setengah juz  setiap hari pada shalat malam atau  shalat-shalat sunnah lainnya,  berarti dia boleh menyelesaikan setiap  harinya tiga juz, dan boleh  mengkhatamkan Al-Quran pada setiap sepuluh  hari sekali. Banyak para  ulama dahulu yang menghatamkan hafalannya  setiap sepuluh hari sekali.  Ada sebagian orang yang mengulangi  hafalannya pada malam saja, yaitu  ketika ia mengerjakan shalat tahajud.  Biasanya dia menghabiskan shalat  tahajudnya selama dua jam. Cuma kita  tidak tahu, selama dua jam itu  berapa juz yang ia dapatkan. Menurut  ukuran umum, kalau hafalannya  lancar, biasanya ia boleh menyelesaikan  satu juz dalam waktu setengah  jam. Berarti, selama dua jam dia boleh  menyelesaikan dua sampai tiga  juz dengan dikurangi waktu sujud dan ruku.
Ada juga sebagian teman yang mengulangi  hafalannya dengan cara masuk  dalam halaqah para penghafal Al-Quran.  Kalau halaqah tersebut berkumpul  setiap tiga hari sekali, dan setiap  peserta wajib mendengarkan  hafalannya kepada temannya lima juz berarti  masing-masing dari peserta  mampu mengkhatamkan Al-Quran setiap lima  belas hari sekali. Inipun hanya  boleh terlaksana jika masing-masing  dari peserta mengulangi hafalannya  sendiri-sendiri dahulu.
E. Manajemen tempat
Tempat yang kondusif akan memberikan  pengaruh signifikan terhadap  kesuksesan menghafal. Mereka yang tinggal  di lingkungan yang cuek atau  bahkan anti dengan bunyi-bunyian al-Quran  akan merasa canggung untuk  menghafal setiap saat. Sebaliknya mereka  yang tinggal di pesantren  khusus tahfidz, akan merasakan sebuah  lingkungan yang kondusif, mau  menghafal kapan saja dan dimana saja dan  dengan cara apapun, tidak ada  problem.
Secara umum, tempat yang paling kondusif  untuk menghafal adalah  masjid. Namun, kadang masing-masing orang  memiliki selera dan tingkat  kejenuhan yang berbeda, sehingga diperlukan  alternatif tempat lain yang  sunyi, seperti: di sawah, sungai, gunung,  pesisir. Ada juga yang  menghafal di dekat makam ulama-ulama terkenal,  seperti di makam syeikh  Hasyim Asyari Jombang yang sering dipakai  tempat menghafal oleh  santri-santri Pesantren “Madrasatul al-Quran”.
Ketika seseorang sudah hafal dan lancar, tempat tidak lagi menjadi  soal. Sebab, ia bisa melakukan murajaah  di manapun; di atas  pesawat, motor, mobil atau di tempat keramaian  sekalipun. Terutama, saat  al-Quran sudah dapat dimasukkan ke ponsel  (HP), dengan begitu tidak ada  lagi rasa “sungkan” membawa dan membaca  al-Quran di tengah kerumunan  massa. Tentu, itu dilakukan dengan suara  pelan yang tidak sampai  mengusik atau menyita perhatian orang lain.
F. Manajemen tahsin (memperindah bacaan)
Faktor lain agar bacaan kita baik dan  tidak salah, adalah  meningkatkan intensitas mendengar bacaan Al-Quran  murattal dari  qori’-qor’ terkenal yang bagus suara dan bacaannya  melalui kaset, MP3  atau HP. Kalau boleh, tidak hanya sekadar mendengar  sambil mengerjakan  pekerjaan lain, akan tetapi mendengar dengan serius  dan teratur. Untuk  diketahui, akhir-akhir ini – Alhamdulillah – banyak  program TV yang  menyiarkan secara langsung pelajaran Al-Quran murattal  dari seorang  qori’ yang bagus. Bisa juga mendapatkan audio atau video  murottal dari  internet di situs:www.Mp3Quran.net,  atau dengan mengetikkan nama qori’ yang dikehendaki pada situs: www.youtube.com, kemudian URLnya  dikopi ke www.youddl.com dan siap  didownload.
DAFTAR RUJUKAN
1. Imam Nawawi, Al Majmu’, (Beirut, Dar Al Fikri, 1996) Cet.  Pertama
2. Hadis riwayat Abu Daud ( no : 1319 ), disahihkan oleh Syekh Al  Bani dalam Sahih Sunan Abu Daud
3. Abu Abdur Rahman Al Baz Taufiq, Ashal Nidham Li Hifdhi  Al-Quran, ( Kairo, Maktabah Al Islamiyah, 2002 ) Cet. Ketiga
4. Abu Dzar Al Qalamuni, ‘Aunu Ar Rahman fi Hifdhi Al-Quran,  ( Kairo, Dar Ibnu Al Haitsam, 1998 ) Cet Pertama
5. Imam Nawawi, At-Tibyan fi Adab Hamalah al-Quran
Sumber : bdm.um.ac.id 

 
 
Syukron ...., semga q bsa memenuhi target....
BalasHapusassalamualaikum..
BalasHapusmohon info tempat untuk menghafal al-quran untuk yg sudah bekerja...
klo ada d sekitar tanah abang... syukron
Jazakumullahi Khairan ...
BalasHapusbismillah (niat yg ikhlas dulu)
BalasHapusbismillah (niat yg ikhlas dulu)
BalasHapusbismillah (niat yg ikhlas dulu)
BalasHapusSyukran katsir
BalasHapussaya ingin bertanya, Sering kali ketika sedang hafalan tiba-tiba mengantuk lalu ketiduran. Bagaimana solusi intuk mengatasi hal itu?